Public Relation = "KATALISATOR"
Berkomunikasi itu pekerjaan yang mudah tapi perlu pula diukur tingkat ke-efektifitasan-nya. Sebab berkomunikasi memerlukan talenta yang didukung tingkat pengetahuan yang mumpuni. Prinsipnya informasi harus tersampaikan dengan baik oleh objek penerima. Dan, informasi yang tersampaikan haruslah relevan, serta memiliki nilai kebenaran tanpa rekayasa. Nah, peran kehumasan dalam sebuah organisasi sangat signifikan, baik itu ditinjau dari fungsi strategis maupun fungsi substansi pekerjaan yang dijalani.Yang pasti Humas bukan sekedar memperbaiki dasi pimpinan saja.
Untuk itu, bagi anda yang berkiprah di bidang humas (hubungan masyarakat) maupun siapa saja yang sekiranya tertarik tentang dunia kehumasan (ke PR-an), ada baiknya anda mengetahui lebih dalam lagi perihal fungsi dan sepak terjang dari kegiatan kehumasan – untuk itu Realitas Indonesia (RI) menghadirkan tulisan tentang dunia Humas (Public Relation) kepada anda. Bisakah Public Relation dikategorikan sebagai Katalisator. Sebab Katalisator ada 2 jenis, Katalisator Heterogen dan Katalisator Homogen.
Pada sebuah organisasi besar maupun kecil, divisi kehumasan merupakan salah satu divisi yang penting. Buktinya, ada juga perusahaan yang dalam struktur organisasinya, menempatkan Divisi Kehumasan bisa secara langsung akses ke Board of Director. Hal ini menandakan bahwa komunikasi dalam sebuah organisasi sangat penting. Baik itu komunikasi yang bersifat internal maupun eksternal.
Entah, anda setuju atau tidak, bila Divisi kehumasan sangat memiliki tanggung jawab yang besar terhadap baik dan tidaknya komunikasi yang terjalin dengan stake holders. Dalam pengertian lebih luas lagi, praktisi humas harus mampu berkomunikasi dengan baik pada stake holders serta bisa menciptakan komunikasi diantara para stake holders–sebab, di dalam stake holders itu sendiri terdiri dari ; kalangan direksi (board of director), pemegang saham, pegawai, konsumen, supplier maupun masyarakat di lingkungan sekitar.
Ada yang bilang bahwa bila anda bekerja di divisi humas, maka janganlah sekedar sebagai “The first person to go but the last person to know”. Sebab, tak bisa dipungkiri sering kita jumpai ada pelaksana humas yang hanya bisa melempar permasalahan, dengan alasan ; “maaf itu sudah kewenangan divisi keuangan…, maaf itu sudah kebijakan departemen SDM, dsb. Alangkah baiknya bila seorang humas bertindak lebih cekatan untuk menelusuri sebab dan musabab dari permasalahan yang terjadi di organisasi perusahaan. Baik itu masalah bersifat teknis maupun political will dari perusahaan.
Nah, setelah informasi terkumpul, barulah mereka (pelaksana humas) memberikan informasi yang sebaik-baiknya kepada pihak yang laik dan memang membutuhkan informasi tersebut. Bagi pelaksana humas, mereka pun harus menyadari mengenai “kepada siapa” informasi tersebut ia sampaikan. Kadang, ada pelaksana humas yang menyampaikan informasi laiknya mengajari ataupun menggurui, padahal secara substansi si penerima informasi merupakan orang-orang berpengalaman. Oleh karena itu, informasi yang tersampaikan haruslah bisa meminimalisasi perbedaan harapan antara yang menyampaikan maupun si penerima informasi.
Untuk itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh praktisi kehumasan bila mereka sedang menjalankan pekerjaannya, yakni :
1. Praktisi kehumasan harus faham secara menyeluruh kegiatan organisasi – dari sisi hulu hingga hilir kegiatan

2. Praktisi kehumasan juga harus memahami dasar-dasar / landasan hukum yang melatarbelakangi atau memiliki relevansi terhadap kegiatan organisasi
>> Kefahaman akan landasan hukum mutlak harus dikuasai oleh setiap praktisi humas. Setidaknya bila terjadi respon negatif terhadap kegiatan organisasi atau perusahaan, maka kehumasan dengan bijak harus bisa menjelaskan legalitas dari kegiatan perusahaan.
3. Praktisi kehumasan harus mampu menjadi penengah bila terjadi komunikasi yang tidak baik di dalam stake holders (seperti misalnya terjadi conflict of interest)
4. Praktisi kehumasan harus mampu menjalin hubungan yang baik dengan media massa (media cetak maupun media elektronik) dan mengetahui jenis-jenis produk yang dimiliki oleh sebuah media massa.
Kesalahfahaman akan jenis-jenis produk media massa akan sangat berpengaruh signifikan terhadap program penyampaian informasi yang akan disampaikan.
5. Praktisi kehumasan mampu berkomunikasi dengan baik kepada para stake holders. Dalam konteks ini, praktisi kehumasan harus bisa menjadi guidSe bagi stake holders (misalnya ; bila board of director akan melakukan publikasi / press conference)
6. Praktisi kehumasan bisa menghadirkan kesejukan komunikasi internal organisasi, serta menciptakan kenyamanan komunikasi eksternal
7. Praktisi humas secara personal juga patut memiliki reputasi yang baik.
Peran & Pengaruh Media Massa
Peran media massa dalam kegiatan kehumasan boleh dibilang sangat signifikan. Sebab media massa merupakan jembatan bagi penyampaian informasi. Bukan itu saja, diharapkan melalui media massa informasi dapat tersebar luas dan dapat diterima oleh stakeholders.
Hubungan antara media massa dengan praktisi humas dalam konteks ini haruslah berjalan baik. Hubungan dalam pengertian disini adalah adanya sikap saling membutuhkan antara kedua belah pihak. Namun demikian ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh kedua belah pihak di dalam menjalani komunikasi. Salah satunya harus meminimalisasi terjadinya conflict interest yang terjadi keduanya.
Beriku ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh praktisi media massa / kalangan jurnalis saat menjalin hubungan dengan praktisi humas sebuah perusahaan maupun konsultan humas (PR) :
1. Kalangan jurnalis, harus mampu memilah informasi yang diterima dari kalangan praktisi humas. Pengertian disini, jangan sampai informasi yang disampaikan tersebut berbau dengan kegiatan promosi dan beriklannya sebuah produk maupun jasa dari pihak yang menyampaikan informasi.
Mengapa demikian ? Sebab, belakangan ini sering terjadi benturan antara kepentingan informasi redaksi dengan divisi iklan di media massa. Sebagai misal ; ada sebuah informasi yang disampaikan ke meja redaksi, padahal informasi tersebut berbau promosi atau kegiatan iklan dari pihak yang menyampaikan. Nah, redaksi hendaknya harus pandai memilah, mana informasi yang patut untuk diteruskan ke meja redaksi dan mana yang selaiknya dilanjutkan ke meja divisi iklan.Oleh karena itu, di saat rapat redaksilah seluruh jurnalis harus mampu saling mengisi dan menilai ; informasi mana yang laik untuk disampaikan dan mana yang sebetulnya hanya sekedar “titipan” semata.
2. Tarik-menarik kepentingan dalam penyampaian berita sering kali terjadi saat rapat redaksi. Apalagi bila dikaitkan dengan tenggat waktu /deadline penerbitan sebuah media cetak. Untuk itu, praktisi media massa harus menyadari bahwa mereka harus memilah dengan bijak, mana kiranya informasi yang laik untuk dikonsumsi publik. Apalagi bila menyangkut membangun pencitraan individu. Hendaknya praktisi jurnalis harus lebih pandai melakukan analisa lebih jauh tentang latar belakang / reputasi seseorang yang akan dipublikasi.
Contohnya ; ada media cetak yang menulis tentang profil pribadi dari pejabat daerah (walaupun masyarakat pembaca sendiri kurang tahu apakah tulisan tersebut merupakan hasil rapat redaksi atau sekedar “titipan”) - Namun berselang beberapa bulan kemudian, pejabat tersebut justru hadir di media cetak lain dengan pemberitaan terlibatnya kasus korupsi.
Hal ini membuktikan bahwa, media massa yang memuat profil pejabat tersebut, tidak melakukan studi banding terlebih dulu tentang laik atau tidaknya profil tersebut dipublikasi. Oleh sebab itu, redaksi media massa harus pandai memilih nara sumber mana yang pantas dan laik dengan menyesuaikan pada tingkat kompetensi yang dimiliki.
3. Praktisi redaksi secara internal harus saling memberikan sumbang saran, untuk mengetahui berasal dari mana ia mendapatkan nara sumber tersebut. Sebab, bila kita bicara jujur tak semua jurnalis bisa mendapatkan kontak person nara sumber secara langsung. Biasanya mereka melalui perantara divisi humas maupun jasa perusahaan konsultan PR (entah pendapat ini benar atau tidak, sebab secara kenyataan di lapangan setiap jurnalis punya cara masing-masing di saat mengejar nara sumber).
Secara implikasi, bila benar informasi tersebut berdasarkan pihak humas maupun konsultan PR, maka pihak redaksi harus pandai memilah informasi yang diterima dari nara sumber. Sebab tak bisa dipungkiri kadang ada pertanyaan dari kalangan jurnalis yang tak terjawab dengan jelas oleh karena pihak humasnya sendiri kurang memahami pertanyaan – atau bisa juga antara nara sumber dan pihak humas tidak terjadi perbedaan statement yang diucapkan.
4. Pihak Redaksional bila mengirim jurnalis ke divisi humas, ada baiknya person yang dipilih adalah mereka yang memahami apa yang akan ditanyakan. Sebab, tak sedikit terjadi kesalahan persepsi antara informasi yang diterima dengan apa yang tersaji di media massa. Hal ini sangat berpengaruh dan menunjukkan lemahnya kompetensi dari sang jurnalis