Business

KOREKSI PARADIGMA ‘HEMAT PANGKAL KAYA’
Ir. Imam Subekti, MSc.


Efisiensi, suatu kata yang indah didengar dan bahkan kemudian di agung-agungkan. Satu kata ini selalu terdengar bergaung di mana-mana, dan selalu muncul pada hampir setiap penerbitan media masa. Dimana timbul masalah, maka di sanalah kata efisiensi muncul dengan serta merta.
Perusahaan rugi, solusinya selalu efisiensi. Korupsi atau KKN selalu dikaitkan dengan (in)efisiensi.
Sedemikian besar nilai kata efisiensi (entah tahu atau tidak maknanya), sehingga dijadikan kata kunci untuk penyelesaian berbagai masalah. Bahkan sering dijadikan dalih, alasan untuk melakukan suatu tindakan.
Sudah teramat sering terdengar, PHK dengan alasan efisiensi. Pengurangan pegawai, pemotongan gaji, pengurangan fasilitas kerja dan berbagai bentuk pembatasan, semuanya dengan dalih efisiensi.
Dari biasa naik taksi beralih ke angkot, dari naik pesawat ke nunggang sepur  semua demi efisiensi, katanya.
Text Box: Penghematan dilakukan hanya sebatas 
masa kritis, 
sedangkan efisiensi tetap harus dilakukan sepanjang waktu, dengan atau tanpa penghematan.Apakah tindakan-tindakan tersebut betul-betul efisien ? Lantas apa tolok ukurnya ?
Singkat kata, efisiensi hampir selalu dikaitkan dengan pengurangan anggaran, atau kata lainnya penghematan. Apakah memang efisiensi memang sama dengan penghematan ?
Efisiensi v.s Penghematan
Efisien dapat diartikan sebagai tepat guna, sedangkan efisiensi menunjukan tingkat ketepatgunaannya. Atau dalam bahasa teknisnya perbandingan antara hasil yang diperoleh (pendapatan), terhadap daya (biaya) yang dikeluarkan. Semakin besar nilai perbandingannya, semakin besar pula tingkat efisiensinya.
Penghematan adalah upaya pengurangan atau minimalisasi daya (biaya), yaitu dengan cara memangkas segala daya atau biaya yang dapat diminimalkan.
Bagaimana hubungan antara efisiensi dengan penghematan ?
Oleh karena penghematan adalah pengurangan daya (biaya) sebagai faktor pembagi, maka tentu saja hal ini akan menaikkan tingkat efisiensinya.
Namun apabila penghematan berdampak negatif yang kontra produktif, yaitu menyebabkan menurunnya pendapatan yang signifikan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, maka penghematan  justru dapat menjadi penyebab inefisiensi.
Dapatkah efisiensi dicapai tanpa penghematan ? Mengapa tidak ?
Efisiensi dapat ditingkatkan dengan meningkatkan hasil (pendapatan), apalagi bila dapat dilakukan tanpa perlu ada tambahan daya (biaya). Bahkan seandainyapun  diperlukan tambahan sejumlah daya (biaya) pun, selama hal tersebut memberikan peningkatan hasil (pendapatan) yang lebih besar lagi, maka ini adalah efisiensi juga bukan…?
Jadi upaya efisiensi tidak harus selalu identik atau berkorelasi dengan penghematan.
Namun demikian begitu kencangnya hembusan angin eforia efisiensi, sehingga banyak orang terpontang panting mengikutinya. Maka jalan pintasnya adalah penghematan habis-habisan. Berbagai bentuk biaya yang bisa diminimalkan dipangkas,  berbagai  fasilitas dan kemudahan yang tidak berhubungan  langsung dengan pendapatan dihapus, tanpa memperhitungkan dampaknya dalam jangka panjang. Memang dalam jangka pendek dampak efisiensinya segera dapat diperoleh. Namun dapatkah dijamin bahwa dalam jangka  panjang justru berdampak kontra produktif ?
Efisiensi dalam Konteks Budaya Bangsa
Kata efisien atau efisiensi berasal dari kata dalam bahasa Inggris “efficient” dan “efficiency”, yang terjemahannya menurut Kamus WJS Poerwadarmita adalah rapi atau kerapian. Tentu hal ini tidak terlalu tepat dengan pengertian efisien yang kita kenal dengan pengertian tepat guna.
Memang istilah ini dalam budaya kita tidak dikenal, sehingga penerjemahannyapun dilakukan hanya dengan merubah penulisannya saja, menjadi efisien dan efisiensi. Hal ini berbeda dengan penghematan yang jelas dalam bahasa Inggrisnya adalah “saving”. Bagaimanapun penerjemahan efficient atau efficiency menjadi efisien atau efisiensi, masih lebih tepat dari hemat atau penghematan, sejauh pengertiannya adalah tepat guna dan ketepatgunaan.
Jauh ke belakang kita mengenal peribahasa Indonesia yang berbunyi “hemat pangkal kaya”. Tentu peribahasa ini tidak sepenuhnya salah, namun perlu diberi catatan  sampai sebatas mana penghematan itu dapat menuai kekayaan.Di dalam kehidupan masa lalu yang “holistik”, dimana masyarakat hidup sebagai satu kesatuan dengan lingkungannya. Dalam pola hidup yang jauh dari ketamakan dan keserakahan, sikap hemat memang sangat menyatu dengan efisiensi. Sikap hemat sebagai aktualisasi  dari efisiensi sudah membudaya  sehari-hari, tanpa harus menunggu situasi krisis. Berbeda dengan masyarakat modern umumnya, yang baru berhemat ketika mengalami krisis. Sehingga penghematan membabi buta yang dilakukan seringkali justru berdampak inefisiensi.
Dalam hal krisis pangan misalnya, pengurangan anggaran pangan tanpa perhitungan dapat berdampak rawan gizi dan rentan penyakit dalam jangka panjang, yang tentunya kontra produktif.
Di sisi lain budaya nenek moyang kita yang terbiasa berhemat tanpa harus menunggu situasi krisis, seperti tercermin dalam tradisi tirakat, puasa, mutih, bertapa, nyepi dsb., adalah aktualisasi nyata dari efisiensi.
Apa yang Salah dengan Penghematan ? 
Penghematan pada dasarnya boleh dilakukan sejauh hal itu berkaitan dengan upaya efisiensi. Itupun harus dilakukan secara terukur, yaitu dengan perhitungan cermat bahwa pemangkasan anggaran yang dilakukan betul-betul tidak akan mengganggu produktivitas, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Namun dalam kondisi darurat, dimana sumber daya maupun dana memang terbatas, penghematan memang terpaksa harus dilakukan, meskipun akan berdampak kepada produktivitas. Maka seyogyanya, upaya penghematan ini ditinjau kembali manakala kondisi kritis telah berlalu, yaitu dimana kondisi sumber daya dan dana sudah normal kembali. Jadi penghematan dilakukan hanya sebatas masa kritis, sedangkan efisiensi tetap harus dilakukan sepanjang waktu, dengan atau tanpa penghematan.
 
Sebagai contoh dalam masa krisis  tenaga listrik yang kita alami. Himbauan pengurangan konsumsi tenaga listrik selama masa beban puncak (17.00 – 22.00), adalah upaya penghematan dalam rangka efisiensi pada sisi pemasok tenaga listrik, karena memang terjadi defisit pasokan listrik pada waktu tsb. Meskipun hal ini terpaksa harus dilakukan dengan risiko akan mempengaruhi tingkat produktivitas pada sisi konsumen. Tindakan ini tentu hanya merupakan tanggap darurat selama terjadi krisis pasokan listrik.
Contoh lain adalah ketika terjadi kekurangan pasokan batu bara untuk pembangkit tenaga listrik, sehingga unit pembangkit terpaksa menggantikannya dengan BBM yang lebih mahal. Ini tentu pemborosan pada sisi pembangkit. Namun pada sisi lain hal ini merupakan upaya mempertahankan stabilitas pasokan listrik, untuk menghindari kerugian yang lebih besar lagi pada sisi konsumen.
Nah, secara makro bukankah hal ini merupakan upaya efisiensi juga ? Jadi upaya efisiensi tidaklah selalu harus dilakukan dengan cara penghematan.
Nampaknya paradigma lama yang berbunyi “hemat pangkal kaya”, sudah saatnya dikoreksi menjadi “EFISIEN PANGKAL KAYA”.

 
 ===God Bless To Us====


MANAJEMEN PENANGANAN POLEMIK :
‘AYAM VS TELUR’
Telah lama menjadi bahan perdebatan, mulai dari kalangan awam sampai dengan cerdik-cendekia, tentang mana yang terlebih dahulu ada antara ayam dengan telur. Meskipun telah lama, bahkan turun temurun dari generasi ke generasi, namun tetap saja belum dapat ditemukan, atau lebih tepatnya disepakati, mana yang terlebih dahulu ada: apakah ayam atau telur.
Seandainya suatu saat nanti diketahui mana di antaranya yang lebih dahulu ada, lantas adakah manfaatnya ? Apakah sendi-sendi kehidupan kemudian akan berubah drastis ?
Demikianlah manusia, meskipun sadar bahwa polemik berkepanjangan ini hanya menguras waktu dan energi, disadari atau tidak, justru telah menular bak virus flu burung, terutama pada kalangan manajemen. Hal ini terlihat dalam kebijakan-kebijakan manajemen, khususnya yang terkait dengan pemberian reward and punishment.
Reward adalah suatu bentuk penghargaan atas prestasi seseorang terhadap organisasi/perusahaan, sedangkan punishment adalah suatu bentuk sanksi atas wan prestasi seseorang terhadap organisasi/perusahaan. Keduanya dapat diberikan dalam berbagai bentuk sesuai dengan tingkatannya, mulai dari pujian atau teguran lisan sampai dengan pemberian kenaikan atau penurunan peringkat atau gaji.
Singkat kata, reward akan selalu terkait langsung dengan prestasi, sementara punishment dengan wan prestasi. Setiap perusahaan tentu menginginkan semua karyawannya berprestasi. Sebaliknya setiap karyawan tentu mengharapkan reward.
Nah, di sinilah virus polemik ayam vs telur mulai berjangkit. Mana yang harus terlebih dahulu, prestasi atau reward. Buntut-buntutnya menuai perdebatan berkepanjangan dan berujung kepada konflik.
Reward vs Prestasi
Sengaja dalam tulisan ini difokuskan kepada reward vs prestasi, oleh karena aturan punishment atau sanksi dalam kaitannya dengan wan prestasi biasanya telah tertulis dengan jelas di dalam aturan perusahaan. Berbeda dengan reward yang jarang atau bahkan hampir tidak pernah tercantum jelas di dalam aturan perusahaan.
Padahal meskipun nampaknya saling beroposisi, sesungguhnya reward dan prestasi mempunyai hubungan sebab-akibat yang saling mendukung untuk kemajuan perusahaan. Pemberian reward akan memotivasi karyawan untuk berprestasi. Sementara itu, prestasi karyawan tentunya akan mendongkrak kinerja perusahaan. Peningkatan kinerja perusahaan tentu juga akan meningkatkan kemampuannya untuk mensejahterakan karyawan, dan juga memberikan reward yang lebih besar lagi tentunya. Demikian seterusnya, sehingga kesejahteraan karyawan serta kinerja perusahaan akan terus meningkat secara berkesinambungan.
Namun demikian, yang sering terjadi justru berjangkitnya virus polemik ayam vs telur. Maka terjadilah perdebatan: apakah karyawan harus berprestasi dulu baru kemudian diberikan reward, atau pemberian reward terlebih dahulu untuk memotovasi prestasi. Buntut-buntunya, terjadilah konflik antara manajemen perusahaan dengan serikat pekerja.
“Apabila perusahaan sudah mempunyai kemampuan untuk memberikan reward, kenapa pula harus ditunda dengan dalih menunggu bukti prestasi. Sebaliknya, apabila karyawan melihat peluang untuk berprestasi, maka lakukanlah, tanpa harus menunggu reward, atau bahkan menuntutnya.”

Modifikasi Polemik Ayam vs Telur
Berpolemik mana yang lebih dulu antara ayam dengan telur, bagaimana pun hanya akan membuang waktu dan tenaga. Alih-alih mencari kebenaran, jusrtu akan menuai konflik berkepanjangan.
Akan lebih baik bila bersikap lebih pragmatis dengan melihat yang ada di depan kita dan dapat dikerjakan.
Apabila yang ada di depan kita adalah ayam, maka peliharalah dengan baik agar kelak dapat bertelur. Memang, tak ada jaminan bahwa ayam yang telah dipelihara dengan baik pasti kelak akan bertelur. Namun, yang pasti, apabila ayam kita potong, kita goreng menjadi ayam goreng yang lezat, dapat dipastikan ayam tersebut tdak akan bisa bertelur lagi.
Sebaliknya, apabila yang ada di depan kita adalah telur, maka rawatlah, agar kelak dapat menetas menjadi ayam. Meskipun juga tidak ada jaminan bahwa semua telur yang dirawat dengan baik pasti akan menetas. Tentu ada juga yang busuk dan harus dibuang. Namun, apabila direbus atau digoreng, pasti tidak akan menetas menjadi ayam.
Bagi manajemen perusahaan, berikanlah reward kepada karyawan untuk memotivasi prestasi, tanpa harus menunggu bukti prestasinya. Memang selalu ada risiko yang mana karyawan tetap tidak termotivasi untuk berprestasi, meskipun telah mendapatkan reward. Pada sisi lain, bagi karyawan, berusahalah berprestasi, meskipun dengan risiko tak ada reward yang diperoleh setelah prestasinya terbukti.
Bagaimana pun akan selalu ada hubungan antara prestasi, reward, dan kinerja perusahaan. Prestasi akan meningkatkan kinerja perusahaan, sehingga mampu memberikan reward. Dan berikutnya, reward akan memotivasi karyawan untuk berprestasi lebih baik lagi. Demikian seterusnya sehingga terjadi peningkatan yang berkesinambungan.
Lantas, dari mana mulainya ? Nah, di sinilah awal mula dari polemik ayam vs telur. Maka, mata rantai inilah yang harus segera diputus secara pragmatis.
Apabila perusahaan sudah mempunyai kemampuan untuk memberikan reward, kenapa pula harus ditunda dengan dalih menunggu bukti prestasi. Sebaliknya, apabila karyawan melihat peluang untuk berprestasi, maka lakukanlah, tanpa harus menunggu reward, atau bahkan menuntutnya. 
Untuk mewujudkan itu semua, kata kuncinya adalah “saling percaya”. Bukankah suatu perusahaan atau organisasi, apapun bentuknya, adalah suatu bentuk kerjasama. Sedangkan kerjasama itu adalah suatu bentuk kesepakatan yang didasari oleh rasa “saling percaya”.
Bagaimana pun perusahaan dibentuk dan dijalankan oleh manusia, bukan malaikat yang tak pernah berbuat salah. Maka akan selalu ada risiko penyimpangan atau bahkan pengkhianatan dari prinsip “saling percaya” tadi.
Namun, risiko adalah bagian dari dinamika kehidupan, di mana tanpa risiko dunia ini akan statis dan terasa menjemukan.


~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
UNTUNG-RUGI BERINVESTASI SEBAGAI FRANCHISEE

Di tengah biaya hidup yang makin berat, sepertinya perlu jalan keluar untuk mengatasinya. Salah satu jalan, kita harus bisa mengembang biakkan uang menjadi sumber penghasilan tambahan. Tapi, wahana investasi jenis apakah yang bisa memberikan kenyamanan dan keuntungan?

Untung dan rugi adalah dua konsekuensi dari apa yang telah anda lakukan. Artinya, jika anda menginginkan sesuatu, pasti ada akibat yang harus dihadapi. Tak mungkin anda bisa meraih sesuatu tanpa berani menghadapi resiko. Mungkin saja rugi terlebih dahulu yang anda dapat, tapi di waktu yang akan datang justru keuntungan yang berpihak ke anda.
Anda pasti ingat peristiwa yang terjadi di sepanjang  tahun 1998 dan 1999. Saat itu, banyak masyarakat resah akibat krisis ekonomi dan moneter melanda negeri ini. Harga-harga kebutuhan pokok meningkat tajam dan  banyak orang menjadi  korban PHK (pemutusan hubungan kerja) akibat tak sedikit perusahaan bangkrut. Layaknya musim kering, daun-daun pun banyak yang berguguran. Demikianlah keadaan industri dan perusahaan di Indonesia saat krisis ekonomi menghantam.
Pesangon dari hasil pemutusan hubungan kerja (PHK) rupanya menjadi andalan. “Kemana uang tersebut harus dikembang-biakkan” demikian yang dipikirkan orang-orang korban PHK, singkat cerita saat tingkat kepercayaan masyarakat pada perbankan nasional, surut serta masih bingungnya masyarakat mencari wahana investasi yang layak, rupanya di waktu bersamaan muncul aneka penawaran investasi dengan pola usaha profit sharing yang bergerak di sektor agrobisnis.
Walau ada segelintir orang yang berhasil alias UNTUNG, tapi tak sedikit pula ada  investor yang gigit jari. Sebagai contoh nyata, ini dialami sebuah Koperasi Langit Biru. Walau awal mulanya berjalan lancar, akhirnya koperasi ini tak sanggup memenuhi kewajibannya dengan tepat pada para anggotanya yang sebenarnya sangat berharap mendapatkan keuntungan, meski pada ujungnya banyak yang harus gigit jari akibat dari KERUGIAN.
Kegagalan berivestasi pada saat itu, merupakan cermin bagi kita. Untuk kemudian bisa menyadari bahwa berinvestasi itu bukan sekedar mengembang-biakkan duit (melalui proses instant). Tapi lebih memandang bagaimana prospek di kemudian hari bisa menjadi sandaran hidup.
Jadi bagi anda yang ingin berivestasi, janganlah mudah tergiur dengan iming-iming laba yang membuat anda ngiler. Sebab yang namanya propektus investasi, itu hanyalah hitungan di atas kertas. Dan, semua baru bisa diproyeksi  setelah berjalan. Itu pun masih dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di lapangan.
Sekarang, tersilah pada anda, dengan tumbuhnya kepercayaan masyarakat pada perbankan nasional, kemudian indeks harga saham gabungan mencapai yang record tertinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya, serta iklim usaha yang mulai  kondusif. Rasanya tak salah kalau anda perlu melirik lagi wahana investasi apa yang menarik ? Tapi, awas jangan asal pilih, pelajari dulu kekurangan dan kelebihannya. Apakah investasi melalui reksadana, membuka usaha terwaralaba (franchisee), atau anda memiliki wahana investasi baru yang lebih aman dan menggiurkan ?
Sajian dari Realitas Indonesia ini diharapkan bisa memberikan pencerahan yang berarti bagi pembacanya.

Kelemahan dan Keunggulan Sebagai Franchisee
Sebagian besar pengusaha menengah yang sedang naik daun, baik itu bisnis yang bergerak di bidang pendidikan, usaha makanan, kesehatan dan sebagainya. Dalam rangka melakukan ekspansi pasar banyak mengembangkan usahanya menjadi pewaralaba (franchisor). Disamping sistem ini lebih efektif dan efisien dalam rangka memperkuat pasar.Ternyata sudah banyak contohnya yang berhasil.
Paling menggembirakan lagi, sambutan dari masyarakat untuk berinvestasi sebagai terwaralaba (franchisee) sangat positif. Banyak individu masyarakat mengikuti program franchisee seperti ini, dan tak sedikit yang puas dengan pengembalian modal sesuai apa yang diutarakan pewaralaba. Sebagai contoh adalah keberadaan Es Teler 77. Kini, jumlah outlet / gerainya pun sudah hampir di seluruh pelosok pulau Jawa, bahkan di luar Jawa pun juga terus berkembang.
Contoh lainnya, yang menandakan suksesnya pewaralaba adalah  restaurant fast food MC Donald. Kini, MC Donald sudah menjadi pewaralaba terbesar di Indonesia, terutama untuk kategori fast food perusahaan asing. Tentu ini menjadi gambaran manis untuk menjadi terwaralaba. Bagaimana dengan franchisee yang mengalami kegagalan ? Nah, sekarang anda bisa mengikuti ulasan rubrik buka mata ini. sebetulnya apa saja kelemahan dan keunggulan berinvestasi sebagai franchisee ?
Ada beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan jika anda ingin mengikuti investasi sebagai  terwaralaba. Pertama ; jika anda ingin menjadi terwaralaba, biasanya pertama-tama anda dijejali janji manis oleh pewaralaba. Padahal  posisi anda sangat lemah dalam melakukan complain. Misalkan, di tahun kedua usaha, pewaralaba (franchisor) menjanjikan terwaralaba (franchisee) bahwa  modalnya akan kembali. Realitanya, memasuki tahun ketiga, franchisee belum mendapatkan apa yang menjadi estimasi Pewaralaba. Sebenarnya, kasus ini sering dihadapi oleh terwaralaba dan biasa disebut sebagai kasus tak terpenuhinya harapan (unfulfilled expections). Menghadapi realitas seperti ini, namun disayangkan, tidak semua franchisor mau memberikan jalan keluarnya. Ini sering terjadi pada terwaralaba lokal, yang penjualannya tak pernah mencapai target alias stagnan saja.
Biasanya, terwaralaba tak bisa melakukan tuntutan apapun pada pewaralaba. Sebab itu terwaralaba sepertinya perlu melakukan studi lebih mendalam dan melakukan perhitungan dengan seksama akan kelayakan sebelum investasi melalui jalur franchisee.
Kedua ; Biasanya pewaralaba  menarik fee dari terwaralaba perihal biaya promosi atau biaya royalty atas pemakaian merek perusahaan/produk. Namun ada yang disayangkan, dalam prakteknya promosi yang dijalani masih cenderung bersifat nasional. Padahal bagi terwaralaba, promosi tingkat lokal / wilayah seharusnya lebih dominan, karena lebih menguntungkan dan banyak memberikan pengaruh.
Ketiga ; menyangkut kegiatan operasional. Dalam hal ini terwaralaba kurang mendapatkan kebebasan (lack of freedom) karena pewaralaba memiliki standar baku dalam proses produksi. Yang memberatkan lagi, kadang ada pewaralaba yang memberikan sangsi pada terwaralaba jika mereka tidak mengikuti standar prosedur operasionalnya. Bagi anda yang memiliki jiwa mandiri dan senang berinovasi dalam upaya mengembangkan pelayanan usaha, menjadi terwalaba sangatlah  tidak cocok. Lebih baik anda membuka bidang usaha sejenis, dan anda bisa meng-create usaha anda menjadi lebih berkembang. Apalagi jika anda sebelumnya memiliki pengalaman kerja di bidang yang sama. Anda tak usah takut terikat lagi dengan standar operasional yang biasa dilakukan pewaralaba.
Keempat ;  masalah ketergantungan yang dialami franchiser. Dalam konteks ini, hampir sebagian besar terwaralaba harus mengikuti prosedur yang ditetapkan pewaralaba. Mulai dari pengiriman bahan baku sampai dengan pembungkus semua harus melalui pewaralaba. Hal ini mengakibatkan, terwaralaba menjadi sangat ketergantungan. Layaknya kuda pacuan dengan mata tertutup, terwaralaba hanya boleh mengikuti insturksi dari pewaralaba.
Disamping kelemahan, ada juga beberapa keunggulan berinvestasi melalui franchisee. Berikut beberapa keunggulannya : Pertama, terwaralaba tak perlu repot-repot lagi membangun brand image perusahaan maupun produk. Karena, sebagian besar dari pewaralaba adalah perusahaan yang sudah memiliki program promosi yang jelas. Sekarang tinggal anda cari, pewaralaba mana yang brand image-nya betul-betul melekat di masyarakat. Sebab, membangun brand image bukan pekerjaan yang gampang. Perlu tiga hingga lima tahun jika anda ingin membangun brand image sendiri.
Kedua, terwaralaba tak perlu lagi kesulitan mempersiapkan segala keperluan produksi. Melalui pewaralaba, kebutuhan infrastruktur produksi hingga bahan baku akan terpenuhi. Lebih menarik lagi, selaku franchisee anda akan mendapatkan program pelatihan selama waktu yang telah ditentukan. Yang perlu disiapkan hanyalah mental anda, sebab dengan mental yang kuat, anda pasti bisa menyelesaikan kesulitan dengan mudah.
Ketiga, jika anda mengalami kesulitan dalam menjalankan usaha terwaralaba. Anda tak perlu bingung harus berdiskusi kemana. Biasanya pewaralaba dengan senang hati siap memberikan banyak masukan. Dengan pola komunikasi bisnis seperti ini akan menghasilkan komunikasi dua arah. Sehingga si franchisee tak perlu sungkan-sungkan lagi  menanyai penyebab menurunnya penjualan mereka maupun rendahnya kualitas produk yang dihasilkan. Jadi, jika anda sebagai franchisee, anda tak perlu repot-repot lagi bayar perusahaan konsultan atau jasa konsultasi pada orang lain.
Yang menggembirakan, menurut hasil penelitian US Federal Trade Commision and Consultant Management/Financial kelas dunia John Naisbit dan Arthur Anderson, usaha dengan sistem waralaba memiliki tingkat kegagalan yang rendah yaitu sekitar 6%. Lain halnya dengan bisnis independen (non franchise) yang memiliki memiliki potensial kegagalan bisa mencapai 64%.

FRANCHISOR YANG BERKUALITAS
Jangan sembarangan memilih franchisor. Kata inilah yang harus diingat oleh siappun yang berhasrat untuk berinvestasi menjadi franchisee. Bagi anda yang hanya bermodal uang “Espas” alias ekonomi pas-pasan jangan mudah tergiur dulu dengan iming-iming untung gede.
Di tengah maraknya banyak perusahaan yang terjun sebagai franchisor. Mulai dari bidang usaha makanan, salon, laundry, pendidikan ataupun berbagai usaha lainnya. Anda pasti dibuat pusing harus memilih mana kira-kira yang bisa menjerat pasar dengan tepat. Jangan sampai anda nanti dibuat menyesal, setelah mengeluarkan uang puluhan hingga ratusan juta.
Bagi calon franchisee, perlu mengetahui indikator apa saja yang diperlukan dalam memilih franchisor yang berkualitas, mulai dari brand/merek yang digunakan maupun tingkat pengembalian modal yang pantas. Berikut ini beberapa indikator yang bisa digunakan untuk  melirik franchisor itu bagus atau tida ; Indikator pertama, anda hendaknya dapat melihat tingkat pencapaian laba dari Franchisor. Apakah terbukti memuaskan dan cukup stabil pendapatannya. Serta, anda boleh juga meminta Neraca dan Rugi Laba minimal dua tahun berturut-turut.
Indikator kedua, sebaiknya anda mencari Franchisor yang telah mempunyai 3 cabang utamanya. Sebab kantor cabang tersebut bisa digunakan sebagai sebuah “laboratorium“ pelatihan franchisee. Yang perlu diperhatikan lebih jauh dalam hal ini, lokasi dan lingkungan usaha yang berbeda dari setiap kantor cabang tentunya menghasilkan konsep manajemen berbeda-beda pula. Kemudian nantinya bisa menjadi sebuah studi kelayakan bagi para calon franchisee.
Indikator ketiga, apakah franchisor yang anda pilih telah memiliki brand/merek  yang human minded. Merek merupakan ujung tombak waralaba. Anda juga harus melihat, apakah franchisor terus menerus membangun merek dan kualitas produk/jasanya. Dan, sejauh itu, anda juga harus menelaah kembali, pola promosi apa yang digunakan oleh para franchisor tersebut. Karena hakekat waralaba adalah menjual Brand. Sederhananya benar apa kata pepatah “Tak Kenal Maka Tak Sayang”
Indicator keempat,  system bisnis yang mudah dipelajari oleh calon franchisee. Ini beralasan karena hakekat waralaba adalah ‘menjual pengalaman sukses’ untuk diajarkan kepada orang lain. Dan kesuksessannya itu di rumuskan ke dalam suatu system yang dipakai oleh terwaralaba. Ini sangat mempengaruhi efisiensi dan efektifitas manajemen dari franchisee. Sebab, jika system bisnis yang dibuatnya kompleks, tentunya akan membutuhkan waktu yang tak sedikit.
Indikator kelima, cakupan pasarnya luas atau tidak. Baik produk maupun jasa, ada aspek yang harus diperhatikan. Apakah produk/jasa itu termasuk kebutuhan primer atau sekunder ?  Dan,kembali lagi pada lokasi tempat yang akan dibuka oleh franchisee. Kira-kira niche pasar mana yang menjadi prioritas di lingkungan tersebut. Selanjutnya, perhatikan lagi kira-kira apakah di radius tersebut sudah ada franchisor pesaing dengan jenis usaha yang sama ? Pikir dan renungkan seberapa dekat anda dengan franchisor yang anda pilih.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Jadilah Pengusaha !
Mengembangkan Bibit Pengalaman Menjadi Buah Karya
Dalam hidup ini, pengalaman merupakan guru yang paling berharga. Ini telah dibuktikan oleh banyak orang sukses dan para jutawan.Karena mau belajar dari pengalaman, mereka pun berhasil meraih impiannya. Tapi sayang, tak banyak orang yang mau memanfaatkan pengalaman menjadi kesempatan emas. Apalagi menjadikan diri lebih mandiri dan tidak menggantungkan nasib pada tempat ia bekerja. Bagaimana sebetulnya merubah pengalaman menjadi peluang emas ?

Salah satu pengalaman yang pahit dari bangsa ini adalah saat krisis ekonomi dan moneter. Apalagi berimplikasi pada porak porandanya perekonomian negara kita. Salah satunya adalah hampir ribuan orang pekerja harus mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Sebab itu, hal ini merupakan pertanda kalau negara kita sangat rentan sekali dengan gejolak perekonomian dunia. Pemutusan hubungan kerja merupakan sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya pada saat itu.
Melihat realita tersebut sangat ironi sekali. Bahkan waktu itu, hampir tiap pagi di kawasan Blok M banyak pegawai kantoran berkumpul dan membicarakan nasib mereka yang harus menjalani PHK. Dari raut wajah mereka tampak sekali akan kecemasan dan kekhawatiran. Padahal mereka adalah karyawan senior yang sudah berpengalaman lebih dari tujuh tahun bekerja.  Apa sebenarnya yang mereka cemaskan ? Ternyata mereka cemas kemana harus melangkah ? Ingin melamar kerja  ke perusahaan sejenis, bisa dibilang nasibnya pun serupa dengan tempat mereka bekerja. Mau membuka usaha, banyak masalah yang harus dipertimbangkan. Mungkin demikian sedikit jawaban yang bisa digambarkan.
Dengan membaiknya kondisi perekonomian dan dunia usaha sekarang, kiranya bisa menjadi momentum untuk bisa meningkatkan taraf hidup kita menjadi lebih baik lagi. Dalam artian lebih luas, peluang berkarir dan berbisnis masih sangat terbuka sekali. Sekarang tinggal kembali pada individu masing-masing, seberapa besar kemampuan  meng-create dari apa yang dimiliki saat ini menjadi penunjang di masa depan.

Kompetisi dan Kesempatan
Di era yang penuh kompetisi ini, apapun profesi dan jabatan yang dimiliki seseorang pasti tak pernah luput dari apa yang dinamakan persaingan. Untuk meraih sesuatu tidak segampang dari apa yang dipikirkan. Contoh sederhana saja, bila kita ingin berangkat ke kantor dengan mengendarai kendaraan. Untuk menghindari jalan yang macet, sebagai pengendara pasti kita pasti mencari solusi tercepat agar tidak terjebak kemacetan. Hal serupa berlaku pula bagi para pengendara lainnya. Jadi tanpa disadari kita dan para pengendara lainnya sebetulnya sedang berkompetisi untuk dapat terhindar dari kemacetan.

Illustrasi di atas merupakan contoh sederhana dari sebuah persaingan yang tidak kompleks. Nah, sekarang kita coba mengupas sejauhmana persaingan yang terjadi dalam dunia karir. Terutama, perihal pressure yang harus dihadapi oleh para pekerja. Dalam konteks ini kompetisi tidak memandang tinggi atau rendahnya jabatan seseorang. Bahkan, seperti kata orang bijak yang menyebutkan ; “makin tinggi sebuah pohon maka makin kencang pula terjangan angin yang diterimanya”.

Sebagai seorang karyawan, tanpa disadari sebetulnya setiap hari mereka  harus bersaing dengan rekan kerjanya. Mulai dari, datang lebih awal agar tidak terlambat, menunjukkan loyalitas kerja yang tinggi, mampu menyelesaikan tugas dari atasan, hingga seberapa besar upaya mereka mendukung program atasannya. Hal tersebut merupakan usaha agar mereka memiliki pengakuan dari pimpinannya. Dan, tak kalah penting lagi yaitu mereka pasti  berharap mendapatkan jenjang jabatan lebih baik dari yang sebelumnya.
Lain halnya dengan pressure yang dihadapi para manajer.  Manajer di dalam sebuah struktur organisasi perusahaan adalah jabatan yang berada di middle level (menengah). Secara struktural ke atas seorang manajer harus bertanggung jawab kepada direksi / managing director  yang membawahinya. Dan ini sangat menuntut seorang manajer harus siaga setiap saat dalam mengembangkan kapabilitasnya. Bila hal tersebut sudah dipenuhi, bisa dipastikan tanpa disadari atau tidak anda akan diikat oleh perusahaan.   
Sementara itu bila dilihat dari struktur ke sampingnya, ia harus berkomunikasi yang baik dengan para manajer lainnya. Sebab, di dalam sebuah perusahaan yang kompleks biasanya  keputusan diambil berdasarkan hasil kesepakatan bersama dari para manajer. Dan, masing-masing manajer tidak berdiri sendiri, tapi memiliki keterkaitan satu dan lainnya. Dalam konteks ini, bagi seorang manajer yang tidak memiliki kemampuan analisis dan membuat  keputusan yang baik, ia hanyalah seorang manajer yang follower (pengikut saja) saja.
Kalau ditinjau dari struktur ke bawah, seorang manajer bukan sekedar harus memberikan perintah kepada bawahan. Tapi juga perlu memberi contoh atau panutan pada bawahan. Maksudnya, bila bawahan memiliki prestasi yang baik maka seorang manajer pun harus berprestasi jauh lebih tinggi lagi. Sebab itu, menjadi hal yang wajar, kalau ada seorang manajer yang terpental dari posisinya disebabkan prestasi yang kurang mendukung.
Dari kedua jenjang jabatan tersebut dapat disimpulkan, baik karyawan maupun manajer, dalam kegiatan kesehariannya sangat sarat akan kompetisi. Yang sangat memprihatinkan lagi, system kerja sudah terbentuk dalam perusahaan. Dengan demikian persaingan berjalan berdasarkan situasi dan kondisi yang sudah berlaku. Ini sebetulnya sangat menghambat laju kreatifitas berpikir dan bertindak.

BERWIRAUSAHA DIMULAI DARI KECIL

Di Indonesia jumlah pengusaha masih sangat minim sekali. Salah satu penyebabnya adalah masih kurang beraninya masyarakat untuk terjun menjadi pengusaha. Terutama dalam menghadapi risiko yang harus dihadapi. Dulu, sebelum krisis ekonomi dan moneter banyak pengusaha yang tumbuh dan berkembang di berbagai sektor. Tapi sayang, ternyata semuanya  rata-rata masih memanfaatkan fasilitas dari keluarga ataupun sanak saudara yang memiliki hubungan dengan penguasa pada saat itu. Tapi sekarang, di saat ekonomi sudah merangkak baik dan dunia usaha makin kondusif. Sepertinya pemerintah tak mau kalah untuk terus membuka pintu lebar-lebar bagi terwujudnya kewirausahaan.

Menjadi pengusaha itu tak perlu harus dimulai dengan modal besar. Karena berwirausaha itu bisa dimulai dari yang kecil untuk kemudian baru tumbuh menjadi besar. Dan biasanya seorang pengusaha dalam melakukan sebuah kegiatan bisnisnya, ia selalu berpegang teguh bahwa setiap pekerjaan merupakan sebuah  hobbi saja. Jadi wajar kalau ada pengusaha yang tak pernah kenal lelah dalam bekerja.

      Seorang entrepreneur adalah seseorang senantiasa melihat sesuatu menjadi “Peluang”. Bahkan tak pernah memandang permasalahan menjadi hal yang harus dihindari. Sebab di balik permasalahan itu, ia yakin akan ada peluang emas yang bisa diraih. Dan, yang lebih dasyat lagi, seorang pengusaha identik dengan keberaniannya menghadapi tantangan (challenge).
Ada beberapa kategori yang menyebabkan orang menjadi pengusaha. Pertama ; dikarenakan back ground yang terlahir dari keluarga pengusaha. Kemudian harus meneruskan usaha dari orang tuanya. Kedua ; menjadi pengusaha karena  dari sebuah tali perkawinan. Ketiga ; menjadi pengusaha oleh karena cita-cita.  Dan, yang keempat menjadi pengusaha karena  accident menjadi pengusaha – sebagai misal akibat dari krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998, banyak korban pemutusan hubungan kerja (PHK) yang banting setir berwirausaha. Dari keempat penyebab yang disebutkan atas, menurut hasil survey yang dilakukan Manager ternyata banyak orang menjadi pengusaha karena faktor accident. Ini tak lain karena mental masyarakat kita yang hanya mau menjadi pegawai / karyawan saja.

Sementara itu, DR. Ida Bagus Putu Sarga, President Director dari Center Of Develoment Of Small and Medium Enterprises menyatakan bahwa dunia pendidikan merupakan faktor pertama ; melalui diciptakannya kurikulum yang menekankan pada unsur kompetensi, ini akan  menjadikan setiap lulusan perguruan tinggi disamping memiliki pengetahuan tapi juga bisa mewujudkan  kemandirian dalam menciptakan sebuah pekerjaan-dengan demikian yang dihasilkan adalah entrepreneur. Yang perlu ditekankan lagi, dengan adanya kurikulum yang terbaru tersebut diharapkan para mahasiswa menjadi entrepreneur yang memiliki rasionalitas.

       Setelah faktor pendidikan, faktor kedua yang harus dimiliki entrepreneur yang andal yakni mesti memiliki emotional. Maksud dari emotional disini adalah, selalu menanamkan semangat-semangat positif. Serta memiliki jiwa dan semangat bersaing positif. Untuk faktor ketiga adalah ; ia harus mempunyai etika dan moral. Dengan unsur-unsur yang religius  nantinya menjadikan entrepreneur dalam bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yang benar. Salah satunya adalah menghasilkan sikap saling menghargai.
Menurutnya lagi, tingkat rasionalitas itu sangat penting sebab pengetahuan itu mengajarkan tentang  kebenaran yang berbasis prinsip-prinsip dasar. Bila tingkat rasionalitas telah dimiliki, selanjutnya perlu unsur-unsur pendorong yang bisa menciptakan  inovasi-inovasi. Jadi seorang entrepreneur itu adalah seorang yang innovator dan memiliki sosok yang learning person. Maksudnya mereka rutin belajar, melakukan improvement terus menerus untuk kemudian digunakan sebagai contoh pada bawahan.



Di sela-sela kesibukannya, Yanti Isa - founder dari PT MAGFOOD sekaligus pemilik dari PT RED CRISPY INTERNATIONAL  menjelaskan bahwa di dunia ini saja hanya 10% yang menjadi pengusaha dari seluruh populasi. Itupun dari 10 %,  yang 70berhasil cuma 1%. Di Indonesia sangat minim sekali orang menjadi pengusaha, hal ini disebabkan faktor lingkungan dari negara kita. Dimana masih belum adanya apresiasi dari pemerintah, terutama dalam hal memberikan banyak kemudahan para pengusaha dalam mengurus perjinan dan lain sebagainya.

Untuk menjadi entrepreneur menurut Yanti Isa, haruslah bermental kuat dan memiliki jiwa kepemimpinan. Karena walaupun memiliki karyawan yang minim back ground pendidikannya, tapi ia harus bisa mendidik mereka agar memiliki pengetahuan dan bekerja dengan efektif. Apalagi saat awal membuat usaha setiap orang pasti memiliki apa yang disebut dengan mimpi (visi). Ternyata banyak entrepreneur yang hanya terlalu mengedepankan visi sebelum mengetahui permasalahan apa saja yang harus dihadapi dalam berwirausaha.

Jackie Ambadar founder dari produk Lemonde saat ditemui Realitas Indonesia setelah menjadi pembicara di salah satu seminar mengatakan, kendala utama dari seseorang untuk berwirausaha bukan sekedar uang. Sebab yang disebut modal itu bisa menyangkut  ide, semangat, dan tenaga. Dan, ada satu hal lagi yang bisa digunakan sebagai modal utama dari seseorang dalam berwirausaha yaitu masalah kepercayaan. “Bila produk maupun jasa kita telah ditawarkan ke pasar. Hendaknya produk dan jasa yang kita berikan haruslah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.Terlebih lagi adanya kepercayaan masyarakat terhadap kita selaku pelaku bisnis” tutur pengusaha sukses tersebut.
Untuk menjadi pengusaha itu tidak semata-mata berdasarkan resources yang berlebihan. Sebab berwirausaha itu bisa dimulai dari nol. Maksudnya, orang untuk berwirausaha bisa melalui proses pelatihan. Bahkan ada beberapa perusahaan swasta nasional yang sangat antusias dan agresif sekali mendukung pengembangan usaha kecil dan menengah. Salah satunya apa yang dilakukan oleh Bogasari Flour Mills. Melalui dibentuknya sebuah sarana pendidikan Bogasari Baking Center (BBC) ternyata banyak lulusan dari BBC walaupun berawal dari usaha kecil, kini sudah menjadi usaha menengah yang eksis di bisnis sector makanan.
Ide tersebut boleh dibilang sangat brilian sekali. Sebab hal ini merupakan sebuah langkah menciptakan entrepreneur community. Apalagi selama ini banyak pengusaha berjalan dengan cara one man show. 

GAMBARAN PRIBADI & KEUNTUNGAN SEORANG ENTREPRENEUR
Para peneliti selama satu dekade terakhir berupaya merumuskan gambaran kepribadian seorang entrepreneur, diantaranya :
1.   High level of energy (Memiliki semangat yang pantang menyerah)
Entrepreneur terkesan memiliki energi yang lebih besar dibandingkan dengan kebanyakan orang. Energi menjadi penting untuk mengimbangi jam kerja yang tak kenal waktu
2.   Desire for Responsibility (rasa bertanggung jawab yang besar)
Setiap entrepreneur biasanya memiliki rasa tanggung jawab besar, terlebih kepada usaha yang baru dirintisnya.
3.   Confidence in their ability to succeed (memiliki kepercayaan diri)
Sebuah studi yang dilakukan oleh National Federation Of Independent Business (NFIB), mengemukakan bahwa sepertiga entrepreneur merasa memiliki peluang sukses sebesar 100 %. Hal ini karena ,entrepreneur memiliki rasa percaya diri yang berlimpah.
4.   Preference For Moderate risk (kemampuan menganalisis dan mengukur risiko)
Seorang entrepreneur selalu memperhitungkan resiko. Dan tidak bersikap untung-untungan. Sinergi antara pengetahuan, latar belakang dan pengalaman akan makin mempertinggi peluang untuk mencapai kesuksesan.
5.   Skill at organizing (mengorganisasi orang)
Seorang entrepreneur yang baik, pandai menempatkan orang sesuai dengan keahlian. Karena efektivitasannya, memudahkan entrepreneur mewujudkan impiannya menjadi kenyataan.
6.   Desire for immediate feedback
Entrepreneur menikmati tantangan ketika membangun bisnis, dan mereka sangat ingin mengetahui bagaimana tanggapan orang lain tentang cara yang mereka sedang jalankan dan untuk itu mereka senang sekali jika mendapat masukan dari orang lain.
7.   Future orientate (melihat masa depan)
Entrepreneur diberkahi kemampuan yang baik dalam melihat sebuah peluang. Ketika menatap hari depan, mereka tidak peduli dengan masa lalunya. Mereka lebih memikirkan apa yang hendak dilakukan esok hari. Dan entrepreneur selalu melihat potensi, ketika orang lain melihatnya sebagai masalah semata.
8.   Value of achievement over money (tak menjadikan uang sebagai sebuah prestasi)
Entrepreneur bukan semata mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Tapi pencapaian kesuksesan yang menjadi kekuatan utama dalam mengelola bisnisnya. Dan uang hanya sebatas symbol untuk menandakan sebuah pencapaian telah berhasil dicapai atau belum.

Keuntungan menjadi Entrepreneur
Persoalan utama dalam hidup ini hanya masalah memilih. Ingin menjadi karyawan seumur hidup, atau menjadi pemilik bisnis anda sendiri. Jika ingin menjadi pebisnis, beberapa keuntungan dapat diraih yaitu :
1.   Menciptakan Tujuan Hidup Sendiri
Menjadi entrepreneur berarti menciptakan kebebasan  dan juga memiliki kesempatan untuk menggapai tujuan hidup yang terpenting. Tahun 1993 Kate Spade memutuskan berhenti menjadi seorang editor ,kemudian membangun bisnis aksesoris. Alhasil, bisnisnya berkembang pesat. Dan omzetnya telah mencapai U$ 30 juta.
2.   Menghadirkan sebuah  Perbedaan
Kecenderungan saat ini entrepreneur memulai bisnis karena ingin membuat perubahan. Mereka ingin menciptakan sesuatu yang berbeda. Dan dengan caranya sendiri, mereka menemukan jalan untuk mengkombinasikan antara isu social dan keinginan mereka untuk menikamati hidup yang lebih baik.
Sebagai contoh, Steve Row yang memanfaatkan limbah kayu dari proyek perumahan menjadi berbagai furniture unik. Dan sekarang telah menjadi perusahaan besar yakni Sun Garden Furniture. Jiwa entrepreneurnya telah menyelamatkan sumber daya bumi yang kian menipis.
3.   Mencapai Potensi puncak
Kebanyakan orang mengerjakan tugas dengan perasaan terpaksa. Mereka merasa bosan, tidak menarik dan tidak menantang. Kenyataan ini, tidak menimpa pada entrepreneur. Karena mereka menganggap hanya ada sedikit perbedaan antara bekerja dan bermain. Bahkan ada yang menyamakan arti dua kata yang berbeda itu.
Bidang  pekerjaan yang ditekuni oleh entrepreneur tidak lain adalah sarana mereka untuk mengekspresikan dan mengaktualiasasikan diri. Mereka sangat sadar keberhasilan mereka sangat ditentukan  oleh kecakapan mereka dalam berkreasi, rasa antusias yang tinggi serta visi.
4.   Keuntungan Tanpa Batas
Uang dapat memotivasi seseorang membangun bisnis. Entrepreneur memang tidak pernah menjadi sumber kaya, namun gelar “cukup kaya” pantas mereka sandang. Berdasarkan majalah Forbes, 75 % dari 400 orang Amerika adalah entrepreneur.
Menurut riset Thomas Stanley dan William Danko, para pemilik employed business termasuk dalam 2/3 dari milyuner AS. Dan seorang entrepreneur memiliki kesempatan empat kali (4 x) lebih besar menjadi milyuner ketimbang bekerja untuk orang lain.
5.   Kontribusi Kepada  Masyarakat
Entrepreneur yang berhasil akan dihargai dan dipercaya oleh masyarakat. Dan entrepreneurpun menikmati kepercayaan dan penghargaan itu, sebagai buah dari pelayanan tulus yang mereka berikan selama bertahun-tahun. Entrepreneur juga ikut berperan penting dalam  system perekonomian. Karena kiprahnya, perekonomian nasionalpun ikut berkembang. 
Entrepreneur yang sukses biasanya adalah mereka yang berhasil memilih bidang bisnis karena ada ketertarikan dalam bisnis tersebut. Mereka menikmati bidang pekerjaan tersebut. Selama bekerja mereka melakukan avocation(hobi) sekaligus mengerjakan Vocation (work).
Para entrepreneur ini menjadikan apa yang disarankan : Harvey McKay menjadi seharipun dalam hidup anda.” Hal ini tidak berlebihan, karena dimata entrepreneur pekerjaan adalah kegemaran (avocation) ketimbang sebuah pekerjaan (work).

No comments:

Post a Comment