Culture & Inspiring

 

HISTORY MUSIKAL SENI KARAWITAN & KARAKTER MASYARAKATNYA


Gamelan Jawa merupakan seperangkat alat musik yang menjadi salah satu objek penting dalam lingkup pembicaraan musik di antara ribuan alat musik lain yang terdapat di dunia. Ketertarikan para sarjana menjadikan gamelan sebagai objek penelitian disebabkan oleh beberapa aspek keistimewaan yang terdapat di dalamnya. Beberapa keistimewaan gamelan Jawa terdapat pada aspek audio dan visualnya. Keistimewaan pada aspek audio meliputi: warna bunyi (tone colour), laras (scale system), embat (interval), dan pelayangan (sound wave), sedangkan keistimewaan pada aspek visualnya meliputi: bentuk, konstruksi, keindahan material yang dipakai, dan ornamennya.

Keistimewaan pada kedua aspek dan dukungan kualitas pada aspek musikalnya mendorong masyarakat dunia untuk mengakui bahwa gamelan Jawa adalah ‘the most sophisticated music in the world’. Negara yang sudah maju dan mempunyai peluang untuk mempelajari musik dunia, misalnya: Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Eropa, Australia, dan beberapa negara lainnya telah menjadikan gamelan Jawa sebagai lambang status pada beberapa universit
asnya.

Gamelan Jawa terdiri dari kurang lebih dua puluh jenis instrumen. Bila dihitung secara keseluruhan dapat mencapai jumlah kurang lebih tujuh puluh lima buah, tergantung pada kebutuhan dengan rincian bahwa setiap instrumen terdiri dari dua buah untuk masing-masing laras (Lindsay, 1979: 3). Sebagian besar merupakan alat musik yang dikategorikan sebagai metallophone dari perunggu, tetapi di dalamnya juga terdapat alat musik dari kategori lainnya, yaitu: chordophone (rebab, siter, celempung), xylophone (gambang), aerophone (suling) dan membranophone (kendang) (Nettl, 1992: 133). Lebih spesifik merupakan seperangkat alat musik dengan laras tertentu (slendro atau pelog) (Vetter, 2001: 43). Berdasarkan fungsi pada instrumentasinya dibagi menjadi dua, yaitu: (1) instrumen yang bertugas untuk membawakan lagu (pamurba lagu), dan (2) instrumen yang bertugas untuk mengatur irama (pamurba wirama) (Sumarsam, 2002: 23).

Gamelan mempunyai posisi yang sangat unik pada proses perkembangan sejarahnya (Lindsay, 1979: 3). Reputasinya mampu menembus wilayah percaturan musik dunia. Tahun 1889-1890 mendapat kesempatan untuk diikutsertakan dalam pameran internasional di Paris. Beberapa keistimewaan pada bentuk fisik, kualitas bunyi, dan larasnya yang unik mengusik perhatian para pemusik dan komposer barat. Salah satunya adalah Claude Debussy yang kemudian melukiskan fantasinya pada sebuah komposisi baru dengan sentuhan gamelan di dalamnya (Wiranto, tt: 8).

Secara umum gamelan adalah sebagai salah satu media ekspresi bagi pengrawit (sebutan untuk pemusiknya) pada penyajian musik gamelan yang disebut dengan istilah karawitan. Dua unsur yang sangat penting untuk diperhatikan pada gamelan adalah perspektif kualitasnya yang menyangkut aspek audio dan visualisasinya. Gamelan yang diciptakan dengan perhitungan matang pada kualitas bunyi (sound quality) yang dihasilkan merupakan salah satu penunjang keberhasilan sebuah penyajian karawitan, di samping aspek penunjang lainnya, misalnya kemampuan pengrawit secara individual pada ketiga ranah. Pertama, yaitu kemampuan secara kognitif, meliputi: tafsir garap gending, tafsir garap instrumen, ketepatan pemilihan cengkok dan variasinya. Kedua, kemampuan pada psikomotorik, meliputi: ketrampilan dalam memainkan instrumen gamelan. Ketiga, adalah kemampuan afektif yang meliputi: perilaku dan sikap, baik pada saat bermain gamelan maupun tidak.

Kualitas bunyi yang baik pada masing-masing instrumen gamelan menjadi salah satu faktor penting yang dapat menentukan kualitas sebuah sajian karawitan, baik yang berkonsep tontonan maupun tidak. Kualitas pada aspek visual untuk sajian karawitan melalui media elektronik audio (radio, tape, cd dan perangkat elektronik audio lainnya) tidak menumbuhkan efek apapun bagi pendengarnya, karena tidak ada gambaran secara visual yang dapat diindera dengan penglihatan. Namun bagi para pengrawit (pemain gamelan) pada saat beraktivitas, baik pada saat melakukan proses perekaman atau siaran langsung, kualitas bunyi tersebut dapat menumbuhkan efek psikologis. Dampaknya ada dua kemungkinan, yaitu: dapat meningkatkan atau sebaliknya menurunkan semangat pada proses penyajiannya.

Aspek kualitas bunyi pada instrumen gamelan meliputi: keras-lembut, kenyaringan, dan resonansi yang terkait dengan panjang-pendek, intonasi, kuantitas, dan tingkat kerapatan gelombangnya. Satu hal yang sangat signifikan dan sangat penting untuk diperhatikan adalah ketepatan larasan nadanya. Kualitas bunyi dan penampilan yang dimiliki gamelan di keraton Yogyakarta atau Surakarta merupakan salah satu dari beberapa koleksi artefak kuno yang sangat membanggakan. Vetter menjelaskan bahwa keistimewaan pada keunikan bunyi dan karakteristik visual masing-masing perangkat gamelan di keraton menjadi sebuah inspirasi untuk memberikan penghargaan dengan sebutan “kanjeng kyahi” dari kata “ingkang panjenengan kyahi” yang biasanya disingkat menjadi KK (Vetter, 1992: 43).

Perkembangan Seni Karawitan Pada Masa Lampau

Telah lama diakui bahwa musik (termasuk seni karawitan) adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Musik dianggap sebagai salah satu cermin dari masyarakat tertentu karena melalui terlihat ritual dan budaya sehari-hari. Musik sebagai karya manusia juga tidak dapat dilepaskan dari latar belakang budaya serta masyarakatnya. Dalam bentuk yang paling sederhana, dipahami bahwa melalui musik, pencipta lagu akan menuangkan seluruh pemikiran, daya cipta dan perasaannya, dan melalui musik pula orang dapat menghargai keindahan dan memperoleh ketenangan. Perkembangan instrumen gamelan dan alat musik lainnya di Jawa pada masa lampau dapat ditemukan pada relief candi, prasasti, dan beberapa piagam kuno lainnya (Kunst, 1973: 11).

Masing-masing instrumen diciptakan secara bertahap dan sangat dimungkinkan juga muncul secara terpisah dari sisi waktu, lokasi dan fungsinya dalam kehidupan masyarakat Jawa pada masa lampau. Beberapa peninggalan sejarah berbentuk relief pada candi batu, yaitu candi Dieng dan Candi Sari yang berasal dari abad VIII, memberikan informasi mengenai beberapa alat musik yang diprediksi sebagai embrio dari beberapa instrumen musik yang terdapat pada gamelan saat ini, misalnya: genta, sitar dan kecer (Soetrisno, 1981: 10).

Sejarah gamelan pada masa Hindu Jawa tersebut (abad VIII hingga abad XI) hanya memberikan sedikit keterangan secara visual dan tidak dapat memberikan keterangan yang akurat, demikian juga pada aktivitasnya (Sumarsam, 1995: 11). Sama halnya dengan relief yang terdapat pada candi Prambanan, candi Pawon, candi Mendut dan candi Borobudur (Palgunadi, 2002: 9).

Sedyawati dalam bukunya Seni Pertunjukan Indonesia menjelaskan sejarah tari berdasarkan data utama relief bangunan suci Jawa Tengah yaitu Borobudur, Prambanan dan Sewu. Sikap tari pada relief–relief tersebut merupakan varian atau ornamentasi tari tertentu. Kelima sikap kaki yang diuraikan dalam Natya Sastra semuanya jelas ada pada relief-relief tari ini terutama candi Siwa (Kompleks Prambanan) dan Borobudur, demikian juga pada bangunan suci Sewu. Alat musik yang terdapat pada adegan tarian tersebut berfungsi sebagai penekanan irama/ritme dan melodi. Alat musik yang ada seperti kendang susun tiga, cymbal, kendang silinder, tongkat gesek dan sebagainya. Ini membuktikan bahwa sebenarnya antara seni tari dan seni musik ada kaitan yang erat dan saling membutuhkan (Sedyawati, 1981: 137).

Beberapa instrumen musik tampak pada relief candi Borobudur, misalnya relief karmawibhangga yang menceritakan hukum karma atau hukum sebab akibat yang dipahatkan pada dinding kaki candi. Seni tari dan seni musik sejak jaman dulu mendapat penghargaan yang tinggi terbukti dengan banyaknya relief alat musik dan adegan tarian pada dinding candi. Selain itu banyak juga naskah kuno yang menyebutkan keistimewaan alat musik gamelan dan sebagainya hingga tidak ada bandingnya di negeri lain di Asia Tenggara.

Relief di atas menunjukkan adegan penari dan pemusik dengan instrumen musiknya (tanda panah). Bagian tengah panil memperlihatkan seorang penari wanita berdiri di atas suatu tempat yang agak tinggi (batur) dan di kiri penari berdiri seorang laki-laki berjenggot yang bertepuk tangan. Anggota badan manusia sebagai sumber bunyi (tepuk tangan), instrumen musik dengan jumlah yang minimal, dan pose bentuk tubuh manusia pada saat melakukan tarian secara sekilas memberikan informasi keterkaitan antara tari dan musik sebagai pengiringnya.

Kreativitas manusia pada proses perkembangan budaya saat itu setidaknya menunjukkan tingkatan kemampuan dalam berolah seni, meskipun bentuk gerakannya jauh berbeda bila dibandingkan dengan gerakan tari pada saat ini. Demikian juga dengan jumlah dan jenis instrumen musik yang tidak sebanyak seperti saat ini, serta jenis instrumen yang terlihat masih sangat sederhana.

Pada kurun waktu berikutnya, tercipta beberapa instrumen musik dengan bentuk dan namanya yang sangat beragam, sebagai salah satu contoh adalah instrumen kendang. Beberapa istilah yang diperoleh dari artefak sejarah yang diketemukan memberikan informasi bahwa instrumen kendang mempunyai beberapa istilah yang berbeda untuk menyebutkannya, yaitu: padahi, pataha, padaha, muraba, murawa, muraja, dan mredangga. Kreativitas masyarakat Jawa pada masa lampau berkembang seiring dengan perjalanan waktu hingga pada akhirnya terbentuklah seperangkat instrumen musik Jawa secara lengkap yang disebut gamelan (Sutrisno, 1981: 5). Lebih spesifik disebut gamelan gedhe atau jangkep, yaitu seperangkat gamelan lengkap yang biasa dimiliki masyarakat secara umum (Palgunadi, 2002: 211).
 
Sejarah perkembangan alat musik gamelan telah diteliti oleh Soetrisno, seorang arkeolog yang mempunyai perhatian besar pada sejarah perkembangan gamelan Jawa. Hasil penelitian berdasarkan peninggalan arkeologis kemudian disajikan secara terperinci dalam bukunya yang berjudul ‘Sejarah Karawitan’ diterbitkan oleh Akademi Seni Tari Indonesia tahun 1981. Informasi mengenai perkembangan gamelan dimulai dari kemunculan alat musik yang masih sangat sederhana, baik yang berdiri sendiri sebagai salah satu kelengkapan dalam upacara adat/ritual atau dalam sebuah kelompok dalam jumlah yang kecil. 

Proses perkembangan dalam rentang waktu hingga ratusan tahun membuahkan kreativitas untuk menggabungkan satu persatu dari alat musik yang ada menjadi kelompok yang lebih besar. Tahapan tertentu pada perkembangannya menghasilkan seperangkat alat musik dengan keragaman bentuk, ukuran, laras, teknik memainkan, dan estetika penyajiannya yang semakin baik. Akhirnya, perangkat ini disebut dengan istilah yang sangat dikenal, yaitu ‘gamelan’.


======================================= continue / bersambung ===================================



ANTARA KEJENIUSAN DAN KEGILAAN SEORANG NASH

            Pernah menonton “A Beatiful Mind”? Film peraih Oscar yang dibintangi oleh Russel Crowe, yang diangkat dari sebuah buku berjudul sama karya Sylvia Nasal, ini bercerita tentang tokoh nyata ahli matematika jenius, John Forbes Nash, yang berhasil meraih nobel di bidang ekonomi pada tahun 1994 berkat pemikirannya, “Nash Equilibrium”, yang menjadi pondasi dalam ekonomi modern. Sebuah ide yang ditemukannya pada usia 21 tahun ketika mengambil kuliah di Princeton University berkat sebuah permainan yang diciptakannya, “Nash”. “A Beautiful Mind” dari seorang yang sempat mengalami skizofrenia akut selama kurang lebih 30 tahun.
...
            John Forbes Nash Jr. lahir pada tanggal 13 Juni 1928 di Blufied, West Virginia. Berayahkan seorang teknisi listrik dan ibu yang bekerja sebagai guru di sebuah sekolah, Nash kecil dibesarkan dalam sebuah keluarga penuh kasih, yang memelihara kejeniusannya. Setidaknya, hal ini sudah terlihat pada masa kanak-kanak ketika Nash senang bermain sendirian. Dalam rangka ingin memastikan agar Nash kecil mendapatkan pendidikan yang baik, ayahnya memberikan sejumlah buku pengetahuan kepada Nash untuk dipelajari.
            Nash kecil sendiri lama-kelamaan menyadarai “kelebihannya”; bahwa ia memiliki tingkat kecerdasan di atas teman-teman sebayanya. Hal ini membuatnya sedikit banyak mulai bersikap arogan, sebuah sikap keeksentrikan yang semakin terlihat di masa dewasanya. Apalagi, Nash kecil pun juga mendapatkan pelajaran tambahan dari ibunya di luar jam pelajaran sekolah, yang membuatnya mampu loncat kelas.
            Semasa SMA, Nash berhasil mendapatkan beasiswa dari Westinghouse, satu dari sepuluh penghargaan tingkat nasional. Selepas SMA, ia melanjutkan kuliah di Carniege Institute of Technology, dan pada tahun 1948 berhasil lulus dengan gelar master. Di sana, Nash hanya perlu menghabiskan masa kuliah selama tiga tahun. Awalnya, Nash berniat untuk mempelajari teknik kimia. Namun, ia menemukan keasyikan pada matematika, dan memutuskan untuk mengubah haluannya untuk kemudian mendalami matematika. Penasihat akademisnya yang memberikan rekomendasi untuk Nash mengatakan, kalau Nash adalah seorang yang jenius!

The Game Theory

            Selanjutnya, Nash mengambil program pasca sarjananya di Princeton University, pada tahun 1948, selepas dari Carniege. Di sinilah Nash memulai petualangannya dalam menciptakan teori, yang puluhan tahun ke depannya akan membawanya ke sebuah penghargaan bergengsi. Teori yang berawal dari kegemarannya memainkan beberapa permainan meja pada waktu minum teh sore, seperti go, backgammon, catur, dan kriegspiel (semacam permainan catur, tetapi pemainnya tidak mengetahui pergerakan yang dilakukan lawan mainnya), yang ditemukannya ketika ia baru menginjak usia 21 tahun. Belakangan, Nash pun menciptakan permainan sendiri, yang membuat teman-temannya terpukau. Sebuah permainan yang membutuhkan taktik dan perencanaan untuk memenangkannya. Permainan itu dibari nama “Nash”. Ini adalah semacam permainan yang dimainkan oleh dua orang (a two-person zero-sum game) di mana masing-masing pemain memiliki informasi lengkap satu sama lain. Jika salah seorang memenangkan permainan ini, maka yang lain harus kalah (zero-sum) dan masing-masing pemain saling memiliki informasi lengkap mengenai strategi yang dimainkan oleh lawannya.
            Ketertarikan Nash adalah karena dalam permainan ada beberapa pemain yang tidak menyadari situasi dan kemungkinan memenangkan permainan jika mereka bekerja sama. Sebagai ilustrasi, andaikan polisi menahan dua orang tersangka, yang keduanya bersalah, dan keduanya ditanyai di dalam sel tahanan yang berbeda (dan tidak mengetahui kondisi masing-masing). Jika mereka bisa bekerja sama, tidak saling berkhianat, maka keduanya akan mendapatkan hukuman selama satu tahun penjara. Tetapi, jika salah seorang berkhianat, maka orang itu akan dibebaskan dan rekannya akan mendapatkan hukuman penjara selama lima tahun. Jika keduanya sama-sama berkhianat, maka keduanya akan mendapatkan hukuman selama tiga tahun. Logikanya, jika keduanya sama-sama memutuskan untuk kompak, maka mereka akan mendapatkan hukuman teringan, yaitu satu tahun. Tetapi, mereka saling tidak mengetahui keadaan masing-masing. Apa jaminannya bahwa rekannya tidak akan mengkhianatinya? Pada akhirnya, mereka akan berkhianat satu sama lain, dan keduanya akan mendapatkan hukuman tiga tahun. Pertanyaannya adalah, bagaimana mungkin dua pihak saling bekerja sama untuk mendapatkan hasil yang sama-sama menguntungkan, jika berkhianat menjadi strategi yang menggiurkan?

            Permainan inilah yang akhirnya menjadi pondasi teori yang dikembangkannya kemudian, “Nash Equilibrium” atau “keseimbangan Nash”, yang sangat penting untuk game theory. Asumsi pada teori Nash adalah, bahwa dalam game theory dan kompetisi, setiap orang berjuang demi kepentingannya masing-masing. Game theory sendiri pertama kali dikembangkan oleh John von Neumann dan Oscar Morgensten pada tahun 1944, sebagai aplikasi teori matematika untuk menganalisis interaksi antara individu, perusahaan, bahkan negara. Kontribusi Nash dalam game theory adalah memukan keseimbangan dalam sebuah interaksi yang terjadi di antara kedua pihak. Keseimbangan Nash (Nash Equilibrium) menggambarkan kondisi di mana satu pihak mengambil keputusan optimal berdasarkan keputusan pihak lain – berbeda dengan konsep keseimbangan standar teori ekonomi yang mengasumsikan keputusan individu berdiri secara indeoenden dari keputusan orang lain. Bagi setiap pemain, ada solusi ideal yang bisa menguntungkan kedua belah pihak. Teori yang dikemukakan Nash ini baru mendapatkan pengakuan puluhan tahun sesudahnya, yang membuatnya diganjar dengan sebuah penghargaan bergengsi di bidang ekonomi.

Terpuruk Skizofrenia


            Lulus dari Princeton dengan gelar Ph.D, Nash pindah ke Boston, dimana ia menjadi anggota terhormat di Massachussetts Institute of Technology (MIT). Di sana, ia dipanggil “kid professor” oleh para mahasiswa, karena pada saat itu ia masih sangat muda, tetapi berlagak elitis. Beberapa rekannya di sana merasa terganggu dengan sikap Nash yang arogan, tetapi mereka mentolerirnya karena ia merupakan seorang yang jenius.Di Princeton, Nash segera melakukan penelitian-penelitian secara luas di berbagai bidang matematika, dan pada tahun 1958, ia dinobatkan oleh Majalah Fortune sebagai bintang terang dalam dunia matematika. Meski demikian, ia masih menganggap dirinya gagal karena belum mampu mendapatkan penghargaan tertinggi.
            Kehidupan pribadi Nash pun tak kalah menarik. Ketika mengajar di MIT, Nash bertemu seorang wanita bernama Eleanor Stier, terlibat asmara dengannya, dan belakangan Eleanor pun mengandung anak Nash. Ketika anaknya lahir, Nash malah menolak untuk mengakuinya sebagai anaknya, tetapi tetap menjalin hubungan intim dengannya, sekalipun ketika ia tengah terlibat hubungan asmara dengan wanita lain, Alicia Larde, yang menjadi salah seorang muridnya. Nash menikahi Alicia pada tahun 1957 dan memiliki anak dari hubungan tersebut pada tahun 1959.
            Tak lama setelah kelahiran anaknya, kondisi mental Nash mulai memburuk. Ada dugaan bahwa memburuknya kondisi mental Nash adalah karena kegelisahan pada pekerjaannya dan kehamilan Alicia. Meski demikian, penyebab pasti keterpurukan  mental Nash tidak ada yang mengetahuinya. Teman-temannya mulai menyadari keanehan sikap Nash ketika ia menghadiri sebuah pesta malam tahun baru dengan berdandan seperti bayi, dan meringkuk di pangkuan Alicia sambil terus menghisap ibu jarinya.
            Pada saat yang lain, dalam kelas game theory-nya, ia menunjuk seorang mahasiswanya untuk mengajar. Nash sendiri menghilang selama beberapa minggu, dan kemudian muncul secara tiba-tiba di tengah-tengah MIT. Kemudian, ia pun mulai meracau tentang para alien yang mengiriminya pesan-pesan melui harian New York Times. Ia juga menginterupsi kelas hanya untuk mengatakan bahwa ia ada di sa,pul majalah LIFE, menyamar sebagai Paus, dan ia mengetahui ini semua karena duapuluh tiga adalah angka favoritnya.
            Di kampus, ia mulai memperhatikan orang-orang yang mengenakan dasi berwarna merah. Ia menduga bahwa orang-orang itu adalah anggota organisasi komunis rahasia, dan mulai mengawasi mereka dengan seksama. Ketika ditawari posisi bagus oleh University of Chicago, Nash malah menolaknya dengan mengatakan bahwa ia telah dijadwalkan untuk menjadi pemimpin di benua Antartika. Nash sering berbicara pada rekan-rekannya tentang makhluk-makhluk luar angkasa dan agen rahasia pemerintah yang tengah berusaha menghancurkan kredibilitas dan reputasinya. Nash pun akhirnya dibebastugaskan dari mengajar, karena diduga tengah mengalami gangguan mental.
            Ia pun kemudian dimasukkan ke rumah sakit McLean dekat Boston, dan didiagnosa menderita skizofrenia paranoid; sebuah penyakit mental yang membuat penderitanya berhalusinasi macam-macam. Selama di rumah sakit, nash diberi obat Thorazin untuk menenangkannya.
            Setelah keluar dari rumah sakit, ia pun mengundurkna diri dari MIT dan menggunakan uang pensiunnya untuk melanglang ke Eropa. Di Eropa, ia melakukan berbagai hal untuk menarik perhatian untuk mengumumkan kewarganegaraannya di Amerika Serikat danmenyatakan dirinya sebagai pengungsi. Alicia menyusulnya ke Eropa dan kemudian membawanya kembali ke AS. Lagi-lagi, Nash kembali berhalusinasi bahwa ia pada saat itu dirantai dan dikirim ke AS dengan kapal seperti budak.
            Kembali ke AS, Nash mulai mendatangi Princeton, membicarakan dirinya sendiri dari sudat pandang orang ketiga, menulis aneh di kartu pos, dan memberikan kuliah tanpa berhenti mengenai numerologi. Alicia pun akhirnya mengambil pekerjaan di Princeton untuk menyokong kehidupan keluarga mereka. Selai itu, Alicia pun membujuk fakultas di Princeton untuk memberikan sedikit pekerjaan di bidang matematika untuk suaminya, dengan tujuan untuk mengembalikan Nash ke dalam masyarakat. Namun, Nash justru menolak menandatangni formulir W – 4 dan emngatakan kalau pemerintah sedang melakukan konspirasi untuk melawannya. Ia pun kembali pada keanehan-keanehannya, natara lain sibuk menelepon keluarganya dengan menggunakan identitas fiktif.
            Tahun 1961, Alicia kembali mengirim Nash ke rumah sakit Trenton State di New Jersey untuk kembali menjalani perawatan untuk memulihkan kondisi mentalnya yang sudah semakin memburuk. Di sana, Nash diobati dengan menggunakan insulin-coma therapy, yang mana pasien disuntik dengan insulin dalam jumlah besar untuk membuat pasien dalam keadaan koma. Pada terapi ini, jika gula darah menurun terlalu rendah, hal ini dapat mengakibatkan pasien mengalami serangan mendadak; kadang pasien menggigiti lidah mereka, dan sesekali mematahkan tulang. Terapi ini sendiri tak lama dihentikan karena memakan banyak biaya dan berbahaya. Alternatif lain adalah dengan menggunakan terapi listrik. Namun, keluarga dan rekan-rekan Nash menolaknya karena terapi ini dapat merusak otak Nash danmembuatnya kehilangan kejeniusannya. Enam bulan setelahnya perawatan dihentikan dan pada saat itu kondisi Nash sangat menyedihkan.
            Tahun 1962, Alicia akhirnya memutuskan untuk bercerai dari Nash, dan Nash pun kembali pada Eleanor dan anak pertama darinya. Beberapa rekannya di Boston mencarikan Nash sebuah apartemen dan mengatur pertemuan Nash dengan seorang prikiater yang memberikannya resep obat antipsychotic. Kondisi Nash pun perlahan mulai membaik, menjadi seperti Nash lama di awal tahun. Ia mulai lebih ramah dan sikap egotisnya sudah hilang.
            Namun, tak lama ia malah berhenti mengkonsumsi obat yang menyebabkan gejala penyakitnya tampak lagi. Alasan pengehntian pemakaian obat adalah karena rasa lelah dan ketidakmampuan untuk berkonsentrasi dalam pekerjaanya. Pada saat inilah Nash mulai mendengar suara-suara dalam khayalannya, yang mengkritik kebiasan-kebiasaannya, dan kemudian kembali memperburuk kondisi mentalnya.
            Akhirnya, pada tahun 1970, Alicia kembali menerima Nash untuk tinggal dengannya, dan juga anaknya, dan berjanji tak akan lagi mengirimnya ke rumah sakit. Nash sendiri mulai muncul di Princeton, menuliskan rumus-rumus matematika, dan dijuliki “The Phantom” karena hampir tidak pernah terlihat.
            Pada suatu hari di tahun 1980-an, Nash berhasil melalui keterpurukan mentalnya, belajar untuk menolak suara-suara yang selama ini mengganggunya. Penyembuhannya memerlukan tahapan, tetapi kondisi mental Nash perlahan-lahan mulai pulih. Menurutnya, kesembuhannya itu berkat keputusannya untuk berpikir secara rasional.
            Seiring perjalanan waktu, pemikirannya tentang titik keseimbangan Nash mulai mendapatkan perhatian dan kemudian menjadi pondasi dalam ekonomi modern. Para ekonom kebanyakan menggunakan pemikirannya untuk memprediksi kejadian-kejadian dalam dunia ekonomi. Akhirnya, anggota komite penghargaan nobel memutuskan untuk memberikan nobel di bidang ekonomi kepada Nash, berkat “Nash Equilibrium”-nya. Tentu saja banyak orang yang terkejut mendengar seseorang yang menderita skizofrenia dalam waktu lama ternyata bisa pulih dan kemudian meraih penghargaan yang begitu prestis. Yah, itulah Nash, di antara kejeniusan dan kegilaannanya., ternyata dia masih mampu untuk membuktikan kemampuan dirinya. (nad-dari berbagai sumber)


~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

12 LANGKAH BILL WILSON MELEPASKAN DIRI DARI ALKOHOL

Ada kalanya kita tidak bisa berjalan seorang diri; kita perlu bergandengan tangan dengan orang lain untuk menemukan jalan keluar dari ujung yang buntu, yang bisa membantu keluar dari permasalahan yang kita hadapi. Dan akan lebih baik lagi, jika kita bisa menemukan orang lain yang senasib dengan kita, untuk diajak berbagi cerita dan pengalaman, karena dengan begitu, minimal kita tidak akan merasa sendirian di dunia ini.
....
Adalah William Griffith Wilson, seorang anak yang dibesarkan di tengah-tengah keluarga broken home, pada 26 November 1895 di East Dorset, Vermont. Berayahkan seorang pecandu alkohol, Gilman Barrows Wilson, yang sering cekcok dengan istrinya, Emily Griffith, tentu saja bukan masa kecil yang menyenangkan bagi Bill – nama panggilan William Griffith Wilson. Ketika usianya menginjak 10 tahun, kedua orang tuanya bercerai. Sang ayah pindah ke Kanada, sedangkan ibunya hijrah ke Boston. Bill kecil pun kemudian diasuh oleh kakek-neneknya.
Bill kemudian bersekolah di Burton and Burr Acadedmy, sebelum ia akhirnya bergabung di kesatuan militer AS. Di sanalah Bill pertama kali “berkenalan” dengan alkohol. Sebagai anak muda 22 tahun yang tengah mencari jati diri saat itu, tentu saja Bill tidak berpikir dua kali ketika ia ditawari minum untuk pertama kalinya oleh seorang kenalan – tanpa sadar bahwa alkohol dapat menghancurkan masa depannya.
Lepas dari dunia militer, Bill berkiprah sebagai seorang pebisnis. Di dunia bisnis pun, ia tetap melanjutkan kebiasaan minumnya – juga untuk mengatasi depresi, dan atau merayakan kesuksesan yang diraihnya. Terlepas dari kebiasaannya minum, sebagai seorang pebisnis, ia pun cukup handal. Setidaknya, ia mampu memainkan peranannya di bursa saham dan mengeruk banyak keuntugan di sana, sampai kemudian terjadi peristiwa “Black Thusrday” 24 Oktober 1929, ketika harga-harga saham anjlok secara drastis. Tak urung, Bill pun menjadi salah seorang yang menderita kerugian. Hal ini membuatnya semakin sering menyentuh minuman keras, terutama untuk mengatasi depresinya. Tanpa sadar, alkohol lama-kelamaan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan Bill. Bahkan, meski keuangan Bill tengah krisis, ia tetap saja mengupayakan berbagai cara untuk melanjutkan kebiasaan minumnya.

Sadar Berkat Teman
 Titik balik Bill untuk berhenti dari ketergantungannya terhadap alkohol berawal, ketika suatu hari tiba-tiba ia didatangi oleh salah seorang teman lamanya, Ebby Thatcher. Tahtcher – dulunya – adalah teman Bill sesama peminum. Namun, ketika Bill menawarinya minum, Thatcher justru menolaknya. Tentu saja ini mengejutkan Bill. “Saya sudah memiliki agama,” jelas Thatcher.
            Thatcher bercerita, bahwa ia termotivasi untuk menghentikan kebiasaan minumnya berkat bergabung ke dalam sebuah kelompok keagamaan (Kristen), yaitu Oxford Group. Oxford Group memperingatkan para anggotanya untuk menjauhi alkohol. Caranya adalah dengan mengikuti beberapa langkah, antara lain mencoba membuat perubahan sikap pada diri sendiri, bersikap sebagai saksi akan kebesaran Tuhan, menerima kelemahan diri, dan sebagainya.
            Bill pun akhirnya mulai mencoba mengatasi ketergantungannya pada alkohol, antara lain dengan mendatangi rumah sakit untuk merehabilitasi kecanduannya. Pada saat di rumah sakit itulah, Bill merasa seakan mendapat “pencerahan”. Pada saat itu pun ia memutuskan untuk berhenti sama sekali dari mengkonsumsi alkohol. Bill pun merasa bahwa ia harus menolong pecandu alkohol lain, seperti halnya ketika Thatcher menolongnya. Selanjutnya, Bill pun bergabung dengan Oxford Movement, dengan tujuan pribadinya, yaitu untuk menolong pecandu alkohol lain. Pada enam bulan pertama, Bill mampu memperoleh sedikit keberhasilan dari tujuannya.
            Kemudian, Bill pergi ke Akron, Ohio, untuk sebuah urusan bisnis. Sayangnya, transaksi yang dilakukannya mengalami kegagalan. Akibatnya Bill merasa frustrasi, dan keinginannya untuk minum minuman keras pun muncul lagi. Khawatir kebiasaan lamanya mengkonsumsi alkohol kambuh lagi, Bill pun segera menelepon ke gereja, dan curhat ke salah seorang pendeta. Bill berkesimpulan, bahwa satu-satunya cara untuk mencegahnya kembali kepada alkohol hanyalah dengan berbagi cerita dengan sesama peminum lainnya. Maka, ia pun meminta pendeta tersebut untuk mencarikannya orang yang juga memiliki masalah sama dengannya, untuk diajak bicara. Selanjutnya, pendeta tersebut memberikan nomor telepon seorang dokter bedah, dr. Robert Smith – dr. Bob, yang juga memiliki masalah ketergantungan pada alkohol.

            Dr. Bob pun bersedia menemui Bill, dan pertemuan mereka berlangsung selama berjam-jam. Sebulan kemudian, pada tanggal 10 Juni 1935, dr. Bob telah berhasil menghentikan kebiasaan minumnya. Bill pun semakin yakin, bahwa hanya sesama pecandu alkohol yang bisa menghentikan kebiasaan minum alkohol para pecandu alohol lainnya. Pada tahun 1939, Bill memutuskan untuk menulis buku yang mendeskripsikan idenya mengenai langkah-langkah penyembuhan ketergantungan pada alkohol. Buku itu selanjutnya diedit oleh anggota-anggota lainnya yang pada saat itu sudah berjumkah ratusan. Isi buku tersebut termasuk 12 langkah-langkah yang harus ditempuh seorang pecandu alkohol untuk menghentikan kebiasaannya. Keduabelas langkah itu antara lain:

1. Menerima kelemahan diri dalam menghadapi alkohol, yang membuat hidup menjadi berantakan
2. Percaya bahwa ada kekuatan besar di luar diri individu yang dapat membantu memperbaiki diri
3.   Membuat keputusan untuk peduli pada Tuhan, sebagaimana Dia memahami makhluknya.
4.   Introspeksi diri terhadap semua sikap dan perbuatan.
5. Membuat pengakuan kepada Tuhan, diri sendiri, dan orang lain tentang kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.
6.    Mempersiapkan diri untuk Tuhan menghilangkan kekurangan dalam diri.
7.  Meminta Tuhan untuk menghilangkan segala kekurangan dalam diri.
8.  Membuat daftar orang-orang yang pernah disakiti, dan bersedia untuk meminta maaf kepada mereka.
9.    Mendatangi langsung orang-orang yang pernah disakiti untuk meminta maaf.
10. Terus melanjutkan introspeksi diri, dan akuilah jika memang telah melakukan kesalahan.
11. Perbanyak doa agar lebih mendekatkan diri pada Tuhan dan semakin menyadari keberadaan-Nya.
12.  Memiliki kebangkitan spiritual sebagai hasil dari langkah-langkah ini, lalu mencoba untuk membawa pesan-pesan ini kepada para pecandu alkohol, juga mempraktekkan prinsip-prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari.
Ide tersebut sebenarnya merupakan pengembangan dari 6 konsep yang diajarkan di Oxford Group, tetapi lebih spesifik untuk mengatasi ketergantungan pada alkohol. Ada banyak judul sementara untuk buku tersebut, seperti “The Way Out”, dan “The Empty Glass”, dan akhirnya buku tersebut diberi judul “Alcoholics Anonymous”. Alcoholics Anomymous – atau AA – pun akhirnya diputuskan menjadi nama kelompok tersebut. Hari lahir AA diputuskan bertepatan dengan momen ketika Smith berhasil menyudahi kebiasaan minumnya, yaitu tanggal 10 Juni 1935.

        Meski isi buku itu bagus, ternyata penjualannya tidak terlalu berhasil di lapangan. Pada saat itu sendiri, anggota AA sudah berjumlah ratusan, tetapi sebagian besar masih belum dapat melepaskan ketergantungan diri dari alkohol Sampai kemudian, pada bulan Maret 1941, sebuah surat kabar, The Saturday Evening Post, menerjunkan tim untuk menginvestigasi rumor yang berkembang di masyarakat saat itu, bahwa sekelompok pecandu alkohol kerap berkumpul untuk mendiskusikan cara menyembuhan dari ketergantungan. Siapa sangka kalau berita yang diangkat harian tersebut mampu menarik perhatian masyarakat terhadap keberadaan kelompok AA ini. Maka, keberadaan kelompok AA pun kian disambut luas oleh masyarakat. Anggotanya pun kian bertambah besar.

Tetap Fokus pada Alkohol

            Pada tahun 1800-an, sebenarnya juga pernah ada kelompok yang memiliki concern untuk mengatasi ketergantungan pada alkohol. Nama kelompok tersebut adalah “The Washingtonians”. Namun, kelompok ini bubar di tengah jalan karena isu yang diusung kelompok ini lama-kelamaan melebar – tidak fokus lagi pada ketergantungan pada alkohol.
            Belajar dari kegagalan kelompok tersebut, Bill pun memutuskan, bahwa AA akan tetap fokus pada alkohol. Bill kemudian menetapkan mengenai 12 tradisi yang harus dijalankan para anggota AA – melengkapi 12 langkah yang dikemukakan sebelumnya. Kedua belas tradisi tersebut, antara lain menyebutkan bahwa AA sebagai sebuah organisasi tidak membicarakan isu-isu yang bersifat opini publik, entah pro atau kontra. AA juga menekankan agar anggotanya tetap menjaga kerendahan hati, dan mengingatkan mereka untuk tetap anonim – tidak menunjukkan diri ke publik.
            Sebelum Bill mengeluarkan pernyataan tentang 12 tradisi dalam organisasi AA, Bill kerap muncul di hadapan publik. Tetapi, setelah muncul ketentuan 12 tradisi dalam organisasi AA, Bill pun mulai “menghilang” dari publik. Ia, antara lain, menolak sejumlah penghargaan bergengsi, termasuk penghargaan yang dikeluarkan oleh Universitas Yale. Ia juga menolak ketika ditawari menjadi cover majalah Time, bahkan sekalipun ia ditawarkan untuk berpose membelakangi kamera. Ini dilakukannya untuk konsisten dengan prinsip menjaga anonimitas yang berlaku dalam AA.

Metode Penyembuhan Warisan Bill W.

            Seiring dengan bertumbuhnya organisasi Alcoholics Anonymous, Bill menjadi ikon yang melandasi prisnsipnya (prinsip organisasi) untuk tetap anonim – merahasiakan diri. Ia hampir selalu dikenal dengan Bill W. – nickname yang selalu digunakannya pada setiap pertemuan. Kini, sekitar 2 juta orang anggota AA, yang tersebar di sekitar150 negara, rajin mengadakan pertemuan untuk berbagi cerita, dan mencoba mencari solusi untuk menyelesaikan masalah kecancuan alkohol yang mereka hadapi. Tidak ada peraturan maupun prosedur rumit untuk bergabung, dan setiap orang yang bergabung hanya menyebutkan nama depannya saja.
            Metode yang diterapkan pada kelompok AA pun belakangan juga mulai diterapkan pada orang-orang yang memiliki permasalahan lain, yang umumnya terkait dengan masalah kecanduan. Kelompok-kelompok yang menggunakan modifikasi sistem yang diadopsi dari sistem yang diterapkan AA, antara lain Overeaters Anonymous (kelebihan makan), Gamblers Anonymous (kecanduan berjudi), Narcotics Anonymous (kecanduan narkoba), Emotions Anonymous, dan banyak lagi.
            Yang penting adalah, orang-orang yang bergabung dalam AA, OA, EA, NA, dan sebagainya, haruslah bergabung atas dasar kesadaran sendiri. Mereka harus mengakui bahwa mereka memiliki masalah yang tidak sanggup mereka atasi sendiri, dan butuh support dari orang-orang yang juga “senasib” untuk bisa keluar dari masalah. Ini seperti prinsip yang pertama kali dikemukakan oleh Bill, bahwa seorang pecandu alkohol hanya bisa “disembuhkan” oleh sesama pecandu alkohol. Dengan bergabung dengan orang-orang lain yang memiliki permasalahan sama, mungkin mereka bisa saling berbagi cerita, termasuk juga berbagi cerita mengenai cerita keberhasilan, maupun kegagalan dalam mengatasi kecanduan. Dari sana, mereka bisa mengambil kesimpulan sendiri, cara seperti apa yang terbaik untuk diterapkan pada diri sendiri. Tentu saja dengan dukungan dari teman-teman yang lain, karena bagaimanapun, bersama-sama bergandengan tangan jauh lebih baik daripada berjalan sendiri-sendiri.
Bill sendiri meninggal pada tanggal 24 Januari 1971 di Miami, Florida, karena menderita emphysema dan pneumonia, penyakit yang disebabkan – ironisnya – akibat kebiasannya merokok berat. Sungguh sayang, mengapa Bill yang mampu mengatasi ketergantungannya pada alkohol, ternyata malah terjebak pada ketergantungan yang lain. Mungkin, ada yang punya ide untuk membentuk semacam organisasi AA untuk mengatasi masalah ketergantungan rokok – Cigarette Anonymous (CA), mungkin.......?


1 comment:

  1. Luar biasa....terima kasih sudah sharing....postingan yang bermanfaat

    ReplyDelete