HISTORY MUSIKAL SENI KARAWITAN & KARAKTER MASYARAKATNYA

Keistimewaan pada kedua aspek dan dukungan
kualitas pada aspek musikalnya mendorong masyarakat dunia untuk mengakui bahwa
gamelan Jawa adalah ‘the most sophisticated music in the world’. Negara yang
sudah maju dan mempunyai peluang untuk mempelajari musik dunia, misalnya:
Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Eropa,
Australia, dan
beberapa negara lainnya telah menjadikan gamelan Jawa sebagai lambang status
pada beberapa universit
asnya.
asnya.
Gamelan Jawa terdiri dari kurang lebih dua
puluh jenis instrumen. Bila dihitung secara keseluruhan dapat mencapai jumlah
kurang lebih tujuh puluh lima
buah, tergantung pada kebutuhan dengan rincian bahwa setiap instrumen terdiri
dari dua buah untuk masing-masing laras (Lindsay, 1979: 3). Sebagian besar
merupakan alat musik yang dikategorikan sebagai metallophone dari perunggu,
tetapi di dalamnya juga terdapat alat musik dari kategori lainnya, yaitu:
chordophone (rebab, siter, celempung), xylophone (gambang), aerophone (suling)
dan membranophone (kendang) (Nettl, 1992: 133). Lebih spesifik merupakan
seperangkat alat musik dengan laras tertentu (slendro atau pelog) (Vetter,
2001: 43). Berdasarkan fungsi pada instrumentasinya dibagi menjadi dua, yaitu:
(1) instrumen yang bertugas untuk membawakan lagu (pamurba lagu), dan (2)
instrumen yang bertugas untuk mengatur irama (pamurba wirama) (Sumarsam, 2002:
23).
Gamelan mempunyai posisi yang sangat unik
pada proses perkembangan sejarahnya (Lindsay, 1979: 3). Reputasinya mampu
menembus wilayah percaturan musik dunia. Tahun 1889-1890 mendapat kesempatan
untuk diikutsertakan dalam pameran internasional di Paris. Beberapa
keistimewaan pada bentuk fisik, kualitas bunyi, dan larasnya yang unik mengusik
perhatian para pemusik dan komposer barat. Salah satunya adalah Claude Debussy
yang kemudian melukiskan fantasinya pada sebuah komposisi baru dengan sentuhan
gamelan di dalamnya (Wiranto, tt: 8).

Kualitas bunyi yang baik pada masing-masing
instrumen gamelan menjadi salah satu faktor penting yang dapat menentukan
kualitas sebuah sajian karawitan, baik yang berkonsep tontonan maupun tidak.
Kualitas pada aspek visual untuk sajian karawitan melalui media elektronik
audio (radio, tape, cd dan perangkat elektronik audio lainnya) tidak
menumbuhkan efek apapun bagi pendengarnya, karena tidak ada gambaran secara
visual yang dapat diindera dengan penglihatan. Namun bagi para pengrawit
(pemain gamelan) pada saat beraktivitas, baik pada saat melakukan proses
perekaman atau siaran langsung, kualitas bunyi tersebut dapat menumbuhkan efek
psikologis. Dampaknya ada dua kemungkinan, yaitu: dapat meningkatkan atau
sebaliknya menurunkan semangat pada proses penyajiannya.
Aspek kualitas bunyi pada instrumen gamelan
meliputi: keras-lembut, kenyaringan, dan resonansi yang terkait dengan
panjang-pendek, intonasi, kuantitas, dan tingkat kerapatan gelombangnya. Satu
hal yang sangat signifikan dan sangat penting untuk diperhatikan adalah
ketepatan larasan nadanya. Kualitas bunyi dan penampilan yang dimiliki gamelan
di keraton Yogyakarta atau Surakarta
merupakan salah satu dari beberapa koleksi artefak kuno yang sangat
membanggakan. Vetter menjelaskan bahwa keistimewaan pada keunikan bunyi dan
karakteristik visual masing-masing perangkat gamelan di keraton menjadi sebuah
inspirasi untuk memberikan penghargaan dengan sebutan “kanjeng kyahi” dari kata
“ingkang panjenengan kyahi” yang biasanya disingkat menjadi KK (Vetter, 1992:
43).
Perkembangan Seni Karawitan
Pada Masa Lampau
Telah lama diakui bahwa musik (termasuk seni karawitan) adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Musik dianggap sebagai salah satu cermin dari masyarakat tertentu karena melalui terlihat ritual dan budaya sehari-hari. Musik sebagai karya manusia juga tidak dapat dilepaskan dari latar belakang budaya serta masyarakatnya. Dalam bentuk yang paling sederhana, dipahami bahwa melalui musik, pencipta lagu akan menuangkan seluruh pemikiran, daya cipta dan perasaannya, dan melalui musik pula orang dapat menghargai keindahan dan memperoleh ketenangan. Perkembangan instrumen gamelan dan alat musik lainnya di Jawa pada masa lampau dapat ditemukan pada relief candi, prasasti, dan beberapa piagam kuno lainnya (Kunst, 1973: 11).
Masing-masing instrumen diciptakan secara bertahap
dan sangat dimungkinkan juga muncul secara terpisah dari sisi waktu, lokasi dan
fungsinya dalam kehidupan masyarakat Jawa pada masa lampau. Beberapa
peninggalan sejarah berbentuk relief pada candi batu, yaitu candi Dieng dan
Candi Sari yang berasal dari abad VIII, memberikan informasi mengenai beberapa
alat musik yang diprediksi sebagai embrio dari beberapa instrumen musik yang
terdapat pada gamelan saat ini, misalnya: genta, sitar dan kecer (Soetrisno,
1981: 10).
Sejarah gamelan pada masa Hindu Jawa
tersebut (abad VIII hingga abad XI) hanya memberikan sedikit keterangan secara
visual dan tidak dapat memberikan keterangan yang akurat, demikian juga pada
aktivitasnya (Sumarsam, 1995: 11). Sama halnya dengan relief yang terdapat pada
candi Prambanan, candi Pawon, candi Mendut dan candi Borobudur
(Palgunadi, 2002: 9).
Sedyawati dalam bukunya Seni Pertunjukan
Indonesia menjelaskan sejarah tari berdasarkan data utama relief bangunan suci
Jawa Tengah yaitu Borobudur, Prambanan dan Sewu. Sikap tari pada relief–relief
tersebut merupakan varian atau ornamentasi tari tertentu. Kelima sikap kaki
yang diuraikan dalam Natya Sastra semuanya jelas ada pada relief-relief tari
ini terutama candi Siwa (Kompleks Prambanan) dan Borobudur,
demikian juga pada bangunan suci Sewu. Alat musik yang terdapat pada adegan
tarian tersebut berfungsi sebagai penekanan irama/ritme dan melodi. Alat musik
yang ada seperti kendang susun tiga, cymbal, kendang silinder, tongkat gesek
dan sebagainya. Ini membuktikan bahwa sebenarnya antara seni tari dan seni
musik ada kaitan yang erat dan saling membutuhkan (Sedyawati, 1981: 137).
Beberapa instrumen musik tampak pada relief
candi Borobudur, misalnya relief karmawibhangga yang menceritakan hukum karma
atau hukum sebab akibat yang dipahatkan pada dinding kaki candi. Seni tari dan
seni musik sejak jaman dulu mendapat penghargaan yang tinggi terbukti dengan
banyaknya relief alat musik dan adegan tarian pada dinding candi. Selain itu
banyak juga naskah kuno yang menyebutkan keistimewaan alat musik gamelan dan
sebagainya hingga tidak ada bandingnya di negeri lain di Asia Tenggara.
Relief di atas menunjukkan adegan penari
dan pemusik dengan instrumen musiknya (tanda panah). Bagian tengah panil
memperlihatkan seorang penari wanita berdiri di atas suatu tempat yang agak
tinggi (batur) dan di kiri penari berdiri seorang laki-laki berjenggot yang
bertepuk tangan. Anggota badan manusia sebagai sumber bunyi (tepuk tangan),
instrumen musik dengan jumlah yang minimal, dan pose bentuk tubuh manusia pada
saat melakukan tarian secara sekilas memberikan informasi keterkaitan antara
tari dan musik sebagai pengiringnya.
Kreativitas manusia pada proses
perkembangan budaya saat itu setidaknya menunjukkan tingkatan kemampuan dalam
berolah seni, meskipun bentuk gerakannya jauh berbeda bila dibandingkan dengan
gerakan tari pada saat ini. Demikian juga dengan jumlah dan jenis instrumen
musik yang tidak sebanyak seperti saat ini, serta jenis instrumen yang terlihat
masih sangat sederhana.
Pada kurun waktu berikutnya, tercipta
beberapa instrumen musik dengan bentuk dan namanya yang sangat beragam, sebagai
salah satu contoh adalah instrumen kendang. Beberapa istilah yang diperoleh
dari artefak sejarah yang diketemukan memberikan informasi bahwa instrumen
kendang mempunyai beberapa istilah yang berbeda untuk menyebutkannya, yaitu:
padahi, pataha, padaha, muraba, murawa, muraja, dan mredangga. Kreativitas
masyarakat Jawa pada masa lampau berkembang seiring dengan perjalanan waktu
hingga pada akhirnya terbentuklah seperangkat instrumen musik Jawa secara
lengkap yang disebut gamelan (Sutrisno, 1981: 5). Lebih spesifik disebut
gamelan gedhe atau jangkep, yaitu seperangkat gamelan lengkap yang biasa
dimiliki masyarakat secara umum (Palgunadi, 2002: 211).
Sejarah perkembangan alat musik gamelan
telah diteliti oleh Soetrisno, seorang arkeolog yang mempunyai perhatian besar
pada sejarah perkembangan gamelan Jawa. Hasil penelitian berdasarkan
peninggalan arkeologis kemudian disajikan secara terperinci dalam bukunya yang
berjudul ‘Sejarah Karawitan’ diterbitkan oleh Akademi Seni Tari Indonesia tahun
1981. Informasi mengenai perkembangan gamelan dimulai dari kemunculan alat
musik yang masih sangat sederhana, baik yang berdiri sendiri sebagai salah satu
kelengkapan dalam upacara adat/ritual atau dalam sebuah kelompok dalam jumlah
yang kecil.
Proses perkembangan dalam rentang waktu hingga
ratusan tahun membuahkan kreativitas untuk menggabungkan satu persatu dari alat
musik yang ada menjadi kelompok yang lebih besar. Tahapan tertentu pada
perkembangannya menghasilkan seperangkat alat musik dengan keragaman bentuk,
ukuran, laras, teknik memainkan, dan estetika penyajiannya yang semakin baik.
Akhirnya, perangkat ini disebut dengan istilah yang sangat dikenal, yaitu
‘gamelan’.
======================================= continue / bersambung ===================================
ANTARA KEJENIUSAN DAN KEGILAAN SEORANG NASH

...
John Forbes Nash Jr. lahir
pada tanggal 13 Juni 1928 di Blufied, West Virginia. Berayahkan seorang teknisi
listrik dan ibu yang bekerja sebagai guru di sebuah sekolah, Nash kecil
dibesarkan dalam sebuah keluarga penuh kasih, yang memelihara kejeniusannya.
Setidaknya, hal ini sudah terlihat pada masa kanak-kanak ketika Nash senang
bermain sendirian. Dalam rangka ingin memastikan agar Nash kecil mendapatkan
pendidikan yang baik, ayahnya memberikan sejumlah buku pengetahuan kepada Nash
untuk dipelajari.
Nash kecil sendiri
lama-kelamaan menyadarai “kelebihannya”; bahwa ia memiliki tingkat kecerdasan di
atas teman-teman sebayanya. Hal ini membuatnya sedikit banyak mulai bersikap
arogan, sebuah sikap keeksentrikan yang semakin terlihat di masa dewasanya.
Apalagi, Nash kecil pun juga mendapatkan pelajaran tambahan dari ibunya di luar
jam pelajaran sekolah, yang membuatnya mampu loncat kelas.
Semasa SMA, Nash berhasil
mendapatkan beasiswa dari Westinghouse, satu dari sepuluh penghargaan tingkat
nasional. Selepas SMA, ia melanjutkan kuliah di Carniege Institute of
Technology, dan pada tahun 1948 berhasil lulus dengan gelar master. Di sana,
Nash hanya perlu menghabiskan masa kuliah selama tiga tahun. Awalnya, Nash
berniat untuk mempelajari teknik kimia. Namun, ia menemukan keasyikan pada
matematika, dan memutuskan untuk mengubah haluannya untuk kemudian mendalami
matematika. Penasihat akademisnya yang memberikan rekomendasi untuk Nash
mengatakan, kalau Nash adalah seorang yang jenius!
The Game Theory

Ketertarikan Nash adalah
karena dalam permainan ada beberapa pemain yang tidak menyadari situasi dan
kemungkinan memenangkan permainan jika mereka bekerja sama. Sebagai ilustrasi,
andaikan polisi menahan dua orang tersangka, yang keduanya bersalah, dan
keduanya ditanyai di dalam sel tahanan yang berbeda (dan tidak mengetahui
kondisi masing-masing). Jika mereka bisa bekerja sama, tidak saling berkhianat,
maka keduanya akan mendapatkan hukuman selama satu tahun penjara. Tetapi, jika
salah seorang berkhianat, maka orang itu akan dibebaskan dan rekannya akan
mendapatkan hukuman penjara selama lima tahun. Jika keduanya sama-sama
berkhianat, maka keduanya akan mendapatkan hukuman selama tiga tahun.
Logikanya, jika keduanya sama-sama memutuskan untuk kompak, maka mereka akan
mendapatkan hukuman teringan, yaitu satu tahun. Tetapi, mereka saling tidak
mengetahui keadaan masing-masing. Apa jaminannya bahwa rekannya tidak akan
mengkhianatinya? Pada akhirnya, mereka akan berkhianat satu sama lain, dan
keduanya akan mendapatkan hukuman tiga tahun. Pertanyaannya adalah, bagaimana
mungkin dua pihak saling bekerja sama untuk mendapatkan hasil yang sama-sama
menguntungkan, jika berkhianat menjadi strategi yang menggiurkan?

Terpuruk Skizofrenia
Lulus dari Princeton
dengan gelar Ph.D, Nash pindah ke Boston, dimana ia menjadi anggota terhormat
di Massachussetts Institute of Technology (MIT). Di sana, ia dipanggil “kid professor” oleh para mahasiswa,
karena pada saat itu ia masih sangat muda, tetapi berlagak elitis. Beberapa
rekannya di sana merasa terganggu dengan sikap Nash yang arogan, tetapi mereka
mentolerirnya karena ia merupakan seorang yang jenius.Di Princeton, Nash segera
melakukan penelitian-penelitian secara luas di berbagai bidang matematika, dan
pada tahun 1958, ia dinobatkan oleh Majalah Fortune sebagai bintang terang
dalam dunia matematika. Meski demikian, ia masih menganggap dirinya gagal
karena belum mampu mendapatkan penghargaan tertinggi.
Kehidupan pribadi Nash pun
tak kalah menarik. Ketika mengajar di MIT, Nash bertemu seorang wanita bernama
Eleanor Stier, terlibat asmara dengannya, dan belakangan Eleanor pun mengandung
anak Nash. Ketika anaknya lahir, Nash malah menolak untuk mengakuinya sebagai
anaknya, tetapi tetap menjalin hubungan intim dengannya, sekalipun ketika ia
tengah terlibat hubungan asmara dengan wanita lain, Alicia Larde, yang menjadi
salah seorang muridnya. Nash menikahi Alicia pada tahun 1957 dan memiliki anak
dari hubungan tersebut pada tahun 1959.

Pada saat yang lain, dalam
kelas game theory-nya, ia menunjuk
seorang mahasiswanya untuk mengajar. Nash sendiri menghilang selama beberapa
minggu, dan kemudian muncul secara tiba-tiba di tengah-tengah MIT. Kemudian, ia
pun mulai meracau tentang para alien yang mengiriminya pesan-pesan melui harian
New York Times. Ia juga menginterupsi kelas hanya untuk mengatakan bahwa ia ada
di sa,pul majalah LIFE, menyamar sebagai Paus, dan ia mengetahui ini semua karena
duapuluh tiga adalah angka favoritnya.
Di kampus, ia mulai
memperhatikan orang-orang yang mengenakan dasi berwarna merah. Ia menduga bahwa
orang-orang itu adalah anggota organisasi komunis rahasia, dan mulai mengawasi
mereka dengan seksama. Ketika ditawari posisi bagus oleh University of Chicago,
Nash malah menolaknya dengan mengatakan bahwa ia telah dijadwalkan untuk
menjadi pemimpin di benua Antartika. Nash sering berbicara pada rekan-rekannya
tentang makhluk-makhluk luar angkasa dan agen rahasia pemerintah yang tengah
berusaha menghancurkan kredibilitas dan reputasinya. Nash pun akhirnya
dibebastugaskan dari mengajar, karena diduga tengah mengalami gangguan mental.
Ia pun kemudian dimasukkan
ke rumah sakit McLean dekat Boston, dan didiagnosa menderita skizofrenia
paranoid; sebuah penyakit mental yang membuat penderitanya berhalusinasi
macam-macam. Selama di rumah sakit, nash diberi obat Thorazin untuk
menenangkannya.
Setelah keluar dari rumah
sakit, ia pun mengundurkna diri dari MIT dan menggunakan uang pensiunnya untuk
melanglang ke Eropa. Di Eropa, ia melakukan berbagai hal untuk menarik
perhatian untuk mengumumkan kewarganegaraannya di Amerika Serikat danmenyatakan
dirinya sebagai pengungsi. Alicia menyusulnya ke Eropa dan kemudian membawanya
kembali ke AS. Lagi-lagi, Nash kembali berhalusinasi bahwa ia pada saat itu
dirantai dan dikirim ke AS dengan kapal seperti budak.
Kembali ke AS, Nash mulai
mendatangi Princeton, membicarakan dirinya sendiri dari sudat pandang orang
ketiga, menulis aneh di kartu pos, dan memberikan kuliah tanpa berhenti
mengenai numerologi. Alicia pun akhirnya mengambil pekerjaan di Princeton untuk
menyokong kehidupan keluarga mereka. Selai itu, Alicia pun membujuk fakultas di
Princeton untuk memberikan sedikit pekerjaan di bidang matematika untuk
suaminya, dengan tujuan untuk mengembalikan Nash ke dalam masyarakat. Namun,
Nash justru menolak menandatangni formulir W – 4 dan emngatakan kalau
pemerintah sedang melakukan konspirasi untuk melawannya. Ia pun kembali pada
keanehan-keanehannya, natara lain sibuk menelepon keluarganya dengan
menggunakan identitas fiktif.
Tahun 1961, Alicia kembali
mengirim Nash ke rumah sakit Trenton State di New Jersey untuk kembali
menjalani perawatan untuk memulihkan kondisi mentalnya yang sudah semakin
memburuk. Di sana, Nash diobati dengan menggunakan insulin-coma therapy, yang mana pasien disuntik dengan insulin
dalam jumlah besar untuk membuat pasien dalam keadaan koma. Pada terapi ini,
jika gula darah menurun terlalu rendah, hal ini dapat mengakibatkan pasien
mengalami serangan mendadak; kadang pasien menggigiti lidah mereka, dan
sesekali mematahkan tulang. Terapi ini sendiri tak lama dihentikan karena
memakan banyak biaya dan berbahaya. Alternatif lain adalah dengan menggunakan
terapi listrik. Namun, keluarga dan rekan-rekan Nash menolaknya karena terapi
ini dapat merusak otak Nash danmembuatnya kehilangan kejeniusannya. Enam bulan
setelahnya perawatan dihentikan dan pada saat itu kondisi Nash sangat
menyedihkan.
Tahun 1962, Alicia
akhirnya memutuskan untuk bercerai dari Nash, dan Nash pun kembali pada Eleanor
dan anak pertama darinya. Beberapa rekannya di Boston mencarikan Nash sebuah
apartemen dan mengatur pertemuan Nash dengan seorang prikiater yang
memberikannya resep obat antipsychotic. Kondisi Nash pun perlahan mulai
membaik, menjadi seperti Nash lama di awal tahun. Ia mulai lebih ramah dan
sikap egotisnya sudah hilang.
Namun, tak lama ia malah
berhenti mengkonsumsi obat yang menyebabkan gejala penyakitnya tampak lagi.
Alasan pengehntian pemakaian obat adalah karena rasa lelah dan ketidakmampuan
untuk berkonsentrasi dalam pekerjaanya. Pada saat inilah Nash mulai mendengar
suara-suara dalam khayalannya, yang mengkritik kebiasan-kebiasaannya, dan
kemudian kembali memperburuk kondisi mentalnya.
Akhirnya, pada tahun 1970,
Alicia kembali menerima Nash untuk tinggal dengannya, dan juga anaknya, dan
berjanji tak akan lagi mengirimnya ke rumah sakit. Nash sendiri mulai muncul di
Princeton, menuliskan rumus-rumus matematika, dan dijuliki “The Phantom” karena
hampir tidak pernah terlihat.
Pada suatu hari di tahun
1980-an, Nash berhasil melalui keterpurukan mentalnya, belajar untuk menolak
suara-suara yang selama ini mengganggunya. Penyembuhannya memerlukan tahapan,
tetapi kondisi mental Nash perlahan-lahan mulai pulih. Menurutnya,
kesembuhannya itu berkat keputusannya untuk berpikir secara rasional.
Seiring perjalanan waktu,
pemikirannya tentang titik keseimbangan Nash mulai mendapatkan perhatian dan
kemudian menjadi pondasi dalam ekonomi modern. Para ekonom kebanyakan
menggunakan pemikirannya untuk memprediksi kejadian-kejadian dalam dunia
ekonomi. Akhirnya, anggota komite penghargaan nobel memutuskan untuk memberikan
nobel di bidang ekonomi kepada Nash, berkat “Nash Equilibrium”-nya. Tentu saja banyak
orang yang terkejut mendengar seseorang yang menderita skizofrenia dalam waktu
lama ternyata bisa pulih dan kemudian meraih penghargaan yang begitu prestis.
Yah, itulah Nash, di antara kejeniusan dan kegilaannanya., ternyata dia masih
mampu untuk membuktikan kemampuan dirinya. (nad-dari berbagai sumber)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
12 LANGKAH BILL WILSON MELEPASKAN DIRI DARI ALKOHOL
Ada kalanya kita tidak bisa
berjalan seorang diri; kita perlu bergandengan tangan dengan orang lain untuk
menemukan jalan keluar dari ujung yang buntu, yang bisa membantu keluar dari
permasalahan yang kita hadapi. Dan akan lebih baik lagi, jika kita bisa
menemukan orang lain yang senasib dengan kita, untuk diajak berbagi cerita dan
pengalaman, karena dengan begitu, minimal kita tidak akan merasa sendirian di
dunia ini.
....
Adalah William Griffith Wilson,
seorang anak yang dibesarkan di tengah-tengah keluarga broken home, pada 26 November 1895 di East Dorset, Vermont.
Berayahkan seorang pecandu alkohol, Gilman Barrows Wilson, yang sering cekcok
dengan istrinya, Emily Griffith, tentu saja bukan masa kecil yang menyenangkan
bagi Bill – nama panggilan William Griffith Wilson. Ketika usianya menginjak 10
tahun, kedua orang tuanya bercerai. Sang ayah pindah ke Kanada, sedangkan
ibunya hijrah ke Boston. Bill kecil pun kemudian diasuh oleh kakek-neneknya.
Bill kemudian bersekolah di
Burton and Burr Acadedmy, sebelum ia akhirnya bergabung di kesatuan militer AS.
Di sanalah Bill pertama kali “berkenalan” dengan alkohol. Sebagai anak muda 22
tahun yang tengah mencari jati diri saat itu, tentu saja Bill tidak berpikir dua
kali ketika ia ditawari minum untuk pertama kalinya oleh seorang kenalan –
tanpa sadar bahwa alkohol dapat menghancurkan masa depannya.

Sadar Berkat Teman
Titik
balik Bill untuk berhenti dari ketergantungannya terhadap alkohol berawal,
ketika suatu hari tiba-tiba ia didatangi oleh salah seorang teman lamanya, Ebby
Thatcher. Tahtcher – dulunya – adalah teman Bill sesama peminum. Namun, ketika Bill
menawarinya minum, Thatcher justru menolaknya. Tentu saja ini mengejutkan Bill.
“Saya sudah memiliki agama,” jelas Thatcher.
Thatcher
bercerita, bahwa ia termotivasi untuk menghentikan kebiasaan minumnya berkat
bergabung ke dalam sebuah kelompok keagamaan (Kristen), yaitu Oxford Group.
Oxford Group memperingatkan para anggotanya untuk menjauhi alkohol. Caranya
adalah dengan mengikuti beberapa langkah, antara lain mencoba membuat perubahan
sikap pada diri sendiri, bersikap sebagai saksi akan kebesaran Tuhan, menerima
kelemahan diri, dan sebagainya.
Bill pun
akhirnya mulai mencoba mengatasi ketergantungannya pada alkohol, antara lain
dengan mendatangi rumah sakit untuk merehabilitasi kecanduannya. Pada saat di
rumah sakit itulah, Bill merasa seakan mendapat “pencerahan”. Pada saat itu pun ia memutuskan untuk berhenti sama sekali
dari mengkonsumsi alkohol. Bill pun merasa bahwa ia harus menolong pecandu
alkohol lain, seperti halnya ketika Thatcher menolongnya. Selanjutnya, Bill pun
bergabung dengan Oxford Movement, dengan tujuan pribadinya, yaitu untuk
menolong pecandu alkohol lain. Pada enam bulan pertama, Bill mampu memperoleh
sedikit keberhasilan dari tujuannya.
Kemudian,
Bill pergi ke Akron, Ohio, untuk sebuah urusan bisnis. Sayangnya, transaksi
yang dilakukannya mengalami kegagalan. Akibatnya Bill merasa frustrasi, dan
keinginannya untuk minum minuman keras pun muncul lagi. Khawatir kebiasaan
lamanya mengkonsumsi alkohol kambuh lagi, Bill pun segera menelepon ke gereja,
dan curhat ke salah seorang pendeta.
Bill berkesimpulan, bahwa satu-satunya cara untuk mencegahnya kembali kepada
alkohol hanyalah dengan berbagi cerita dengan sesama peminum lainnya. Maka, ia
pun meminta pendeta tersebut untuk mencarikannya orang yang juga memiliki
masalah sama dengannya, untuk diajak bicara. Selanjutnya, pendeta tersebut
memberikan nomor telepon seorang dokter bedah, dr. Robert Smith – dr. Bob, yang
juga memiliki masalah ketergantungan pada alkohol.
Dr. Bob
pun bersedia menemui Bill, dan pertemuan mereka berlangsung selama berjam-jam.
Sebulan kemudian, pada tanggal 10 Juni 1935, dr. Bob telah berhasil
menghentikan kebiasaan minumnya. Bill pun semakin yakin, bahwa hanya sesama
pecandu alkohol yang bisa menghentikan kebiasaan minum alkohol para pecandu
alohol lainnya. Pada tahun 1939, Bill memutuskan untuk menulis buku yang
mendeskripsikan idenya mengenai langkah-langkah penyembuhan ketergantungan pada
alkohol. Buku itu selanjutnya diedit oleh anggota-anggota lainnya yang pada
saat itu sudah berjumkah ratusan. Isi buku tersebut termasuk 12 langkah-langkah
yang harus ditempuh seorang pecandu alkohol untuk menghentikan kebiasaannya. Keduabelas
langkah itu antara lain:
1. Menerima kelemahan diri dalam
menghadapi alkohol, yang membuat hidup menjadi berantakan
2. Percaya bahwa ada kekuatan besar
di luar diri individu yang dapat membantu memperbaiki diri
3. Membuat keputusan untuk peduli
pada Tuhan, sebagaimana Dia memahami makhluknya.
4. Introspeksi diri terhadap semua
sikap dan perbuatan.
5. Membuat pengakuan kepada Tuhan,
diri sendiri, dan orang lain tentang kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.
6. Mempersiapkan diri untuk Tuhan
menghilangkan kekurangan dalam diri.
7. Meminta Tuhan untuk menghilangkan
segala kekurangan dalam diri.
8. Membuat daftar orang-orang yang
pernah disakiti, dan bersedia untuk meminta maaf kepada mereka.
9. Mendatangi langsung orang-orang
yang pernah disakiti untuk meminta maaf.
10. Terus melanjutkan introspeksi
diri, dan akuilah jika memang telah melakukan kesalahan.
11. Perbanyak doa agar lebih
mendekatkan diri pada Tuhan dan semakin menyadari keberadaan-Nya.
12. Memiliki kebangkitan spiritual
sebagai hasil dari langkah-langkah ini, lalu mencoba untuk membawa pesan-pesan
ini kepada para pecandu alkohol, juga mempraktekkan prinsip-prinsip ini dalam
kehidupan sehari-hari.
Ide tersebut sebenarnya merupakan
pengembangan dari 6 konsep yang diajarkan di Oxford Group, tetapi lebih
spesifik untuk mengatasi ketergantungan pada alkohol. Ada banyak judul
sementara untuk buku tersebut, seperti “The Way Out”, dan “The Empty Glass”,
dan akhirnya buku tersebut diberi judul “Alcoholics Anonymous”. Alcoholics
Anomymous – atau AA – pun akhirnya diputuskan menjadi nama kelompok tersebut.
Hari lahir AA diputuskan bertepatan dengan momen ketika Smith berhasil
menyudahi kebiasaan minumnya, yaitu tanggal 10 Juni 1935.

Tetap Fokus pada Alkohol
Pada
tahun 1800-an, sebenarnya juga pernah ada kelompok yang memiliki concern untuk
mengatasi ketergantungan pada alkohol. Nama kelompok tersebut adalah “The Washingtonians”.
Namun, kelompok ini bubar di tengah jalan karena isu yang diusung kelompok ini
lama-kelamaan melebar – tidak fokus lagi pada ketergantungan pada alkohol.
Belajar
dari kegagalan kelompok tersebut, Bill pun memutuskan, bahwa AA akan tetap
fokus pada alkohol. Bill kemudian menetapkan mengenai 12 tradisi yang harus
dijalankan para anggota AA – melengkapi 12 langkah yang dikemukakan sebelumnya.
Kedua belas tradisi tersebut, antara lain menyebutkan bahwa AA sebagai sebuah
organisasi tidak membicarakan isu-isu yang bersifat opini publik, entah pro
atau kontra. AA juga menekankan agar anggotanya tetap menjaga kerendahan hati, dan
mengingatkan mereka untuk tetap anonim – tidak menunjukkan diri ke publik.
Sebelum
Bill mengeluarkan pernyataan tentang 12 tradisi dalam organisasi AA, Bill kerap
muncul di hadapan publik. Tetapi, setelah muncul ketentuan 12 tradisi dalam
organisasi AA, Bill pun mulai “menghilang” dari publik. Ia, antara lain,
menolak sejumlah penghargaan bergengsi, termasuk penghargaan yang dikeluarkan
oleh Universitas Yale. Ia juga menolak ketika ditawari menjadi cover majalah Time, bahkan sekalipun ia ditawarkan
untuk berpose membelakangi kamera. Ini dilakukannya untuk konsisten dengan
prinsip menjaga anonimitas yang berlaku dalam AA.
Metode Penyembuhan
Warisan Bill W.
Seiring
dengan bertumbuhnya organisasi Alcoholics Anonymous, Bill menjadi ikon yang
melandasi prisnsipnya (prinsip organisasi) untuk tetap anonim – merahasiakan
diri. Ia hampir selalu dikenal dengan Bill W. – nickname yang selalu digunakannya pada setiap pertemuan. Kini,
sekitar 2 juta orang anggota AA, yang tersebar di sekitar150 negara, rajin
mengadakan pertemuan untuk berbagi cerita, dan mencoba mencari solusi untuk
menyelesaikan masalah kecancuan alkohol yang mereka hadapi. Tidak ada peraturan
maupun prosedur rumit untuk bergabung, dan setiap orang yang bergabung hanya
menyebutkan nama depannya saja.
Metode
yang diterapkan pada kelompok AA pun belakangan juga mulai diterapkan pada
orang-orang yang memiliki permasalahan lain, yang umumnya terkait dengan
masalah kecanduan. Kelompok-kelompok yang menggunakan modifikasi sistem yang
diadopsi dari sistem yang diterapkan AA, antara lain Overeaters Anonymous (kelebihan
makan), Gamblers Anonymous (kecanduan berjudi), Narcotics Anonymous (kecanduan
narkoba), Emotions Anonymous, dan banyak lagi.
Yang
penting adalah, orang-orang yang bergabung dalam AA, OA, EA, NA, dan
sebagainya, haruslah bergabung atas dasar kesadaran sendiri. Mereka harus
mengakui bahwa mereka memiliki masalah yang tidak sanggup mereka atasi sendiri,
dan butuh support dari orang-orang yang juga “senasib” untuk bisa keluar dari
masalah. Ini seperti prinsip yang pertama kali dikemukakan oleh Bill, bahwa
seorang pecandu alkohol hanya bisa “disembuhkan” oleh sesama pecandu alkohol.
Dengan bergabung dengan orang-orang lain yang memiliki permasalahan sama,
mungkin mereka bisa saling berbagi cerita, termasuk juga berbagi cerita
mengenai cerita keberhasilan, maupun kegagalan dalam mengatasi kecanduan. Dari
sana, mereka bisa mengambil kesimpulan sendiri, cara seperti apa yang terbaik
untuk diterapkan pada diri sendiri. Tentu saja dengan dukungan dari teman-teman
yang lain, karena bagaimanapun, bersama-sama bergandengan tangan jauh lebih
baik daripada berjalan sendiri-sendiri.
Bill sendiri meninggal pada
tanggal 24 Januari 1971 di Miami, Florida, karena menderita emphysema dan
pneumonia, penyakit yang disebabkan – ironisnya – akibat kebiasannya merokok
berat. Sungguh sayang, mengapa Bill yang mampu mengatasi ketergantungannya pada
alkohol, ternyata malah terjebak pada ketergantungan yang lain. Mungkin, ada
yang punya ide untuk membentuk semacam organisasi AA untuk mengatasi masalah
ketergantungan rokok – Cigarette Anonymous (CA), mungkin.......?
Luar biasa....terima kasih sudah sharing....postingan yang bermanfaat
ReplyDelete