Monday, February 25, 2013

Rumahku Istanaku..


Rumahku Istanaku
(Kritisi Dulu, Baru Beli!)

Kepadatan penduduk yang tinggi tanpa diimbangi ketersediaan lahan bagi  pemukiman kerap  menjadi permasalahan di daerah perkotaan. Apalagi harga jual tanah yang tanpa permisi bisa  melonjak setiap saat. Hal ini seperti terjadi di Jakarta maupun kota-kota besar lainnya. Yang lebih memberatkan lagi, harga bahan bangunan juga turut terbang melangit. Imbasnya, harga jual dari produk properti (baik itu perumahan, rusun, hingga apartemen) membumbung tinggi. Tentu ini pekerjaan rumah bagi komunitas bisnis properti, terutama dalam rangka menawarkan harga yang pantas bagi konsumennya tanpa mengabaikan kualitas. Untuk calon konsumen, mereka harus lebih “melek” lagi di saat akan melakukan transaksi pembelian rumah. 


Urbanisasi merupakan bagian dari pergerakan penduduk yang tak bisa ditahan lajunya. Apalagi bila dikaitkan dengan tujuan dari urbanisasi yakni “Mengadu Nasib di Perkotaan”. Fenomena ini sudah menjadi realita, dan berakibat daerah perkotaan menjadi penuh sesak dengan hadirnya para pendatang. Yang sangat memprihatinkan, banyak masyarakat urban yang nekad membangun rumah di lahan-lahan yang sebetulnya bukan hak mereka. Imbasnya, mereka harus rela digusur secara paksa, walaupun kenyataannya mereka mengaku telah tinggal berpuluh tahun lamanya.

Di tengah turbulensi pembangunan perkotaan, yang mana kota lebih berperan menjadi pusat bisnis. Perlahan dan pasti, sudah banyak masyarakat memilih pemukiman di pinggiran kota. Di samping biaya hidup lebih rendah, dukungan sarana transportasi ke jantung kota pun sudah banyak pilihan. So, anda harus berfikir panjang bila tetap bersikeras tinggal di tengah kota, terutama bagi mereka yang hanya berlatar belakang ESPASS (ekonomi pas-pasan).   

Singkat kata, membeli rumah bukanlah pekerjaan gampang. Banyak hal yang harus diketahui dan dipertimbangkan masak-masak. Mulai dari; siapa developernya ? Berapa harga jual dari rumah yang dipilih? Lalu apa saja fasilitas umum yang disediakan developer? sampai dengan kondisi lingkungan maupun akses dan sarana transportasi yang mudah. Setidaknya, rumah yang dipilih harus aman dan nyaman, baik itu ditinjau dari sisi lingkungan internal maupun eksternal. Toh, sebagai konsumen pasti anda tak mau laksana “Membeli kucing dalam karung”.






Gambar 1 merupakan garis besar yang harus dipahami oleh calon konsumen. Tujuannya adalah; mengajak masyarakat agar lebih cerdas dan berwawasan sebelum mengambil keputusan membeli produk properti (dalam hal ini rumah misalnya). Tak bisa dipungkiri, walaupun konsumen masih ada yang terbawa oleh sikap yang irasional. Selanjutnya diharapkan konsumen lebih  mengedepankan sikap rasional


Berikut ini hal-hal yang harus diperhatikan oleh konsumen sebelum membeli Rumah ;

(1)  Kelegalitasan tanah ;

Merupakan salah satu faktor yang patut dipertanyakan oleh konsumen. Sebab, sudah banyak orang jadi korban penipuan akibat legalitas tanah yang tak jelas. Salah satu cara untuk mengetahui legalitas dari proyek properti yakni konsumen bisa menanyakan kepada Developer ; apakah Site Plan kawasan dari proyek tersebut sudah mendapatkan ijin / terdaftar di pemerintahan daerah setempat.

Jika terbukti ijin Site Plan telah dimiliki, anda tak perlu khawatir akan keberadaan tanah dari gangguan proyek pemerintah. Salah satu contoh proyek pemerintah yang sering mengganggu misalnya ; proyek pembangunan jalan tol, jalan layang, dan sebagainya.

 
(2)  Harga jual & Proses Pembelian Rumah yang Ditawarkan oleh Developer;
Harga jual selalu jadi pertanyaan utama ketertarikan konsumen hadir. Bagi konsumen yang kritis, apalagi jika menyikapi tentang harga jual dari rumah baru. Berikut ini salah satu contoh rasional yang patut diperhatikan oleh calon konsumen guna mempelajari “harga jual dari rumah baru” :
·         Melakukan Perbandingan antara Luas Bangunan dan Luas Tanah;
Luas tanah dan bangunan merupakan dua ukuran yang harus diperhatikan oleh anda selaku calon konsumen. Setidaknya, bila anda telah mengetahui luas bangunan, maka anda bisa membuat asumsi mengenai nilai bangunan yang akan dibuat. Untuk selanjutnya, barulah anda bisa mengetahui standar “nilai jual tanah” yang ditawarkan oleh Developer. Berikut ini contoh illustrasi yang dapat dipelajari ; jika LT (luas tanah) dan LB (luas bangunan) berbanding 100m2/60m2, berarti anda bisa membuat perkiraan dari “nilai bangunannya”. Jika anda mengasumsikan standar biaya rumah sederhana itu sebesar Rp 1,5 juta per meter persegi-nya, maka “nilai bangunan” tersebut adalah ; (Rp 1,5 juta x 60m2 = Rp 90 juta)- Note; “nilai bangunan” tidak sama / berbeda dengan “nilai tanah”.

Kemudian, bila diketahui “harga jual bangunan (rumah baru berikut tanah)” yang dibeli oleh konsumen dari developer berharga Rp 190 juta, maka anda pun bisa mengetahui “nilai tanah” yang ditawarkan developer, yakni dari; (Rp 190 juta – Rp 90 juta = Rp 100 juta). Atau jika di-breakdown lagi yaitu harga per meter persegi dari tanah yang dibeli adalah; Rp 100 juta : 100 m2 = Rp 1 juta per meter perseginya. (Lihat; Gambar 2) 


Lalu timbul pertanyaan; sejauhmana  hubungan antara nilai bangunan, nilai tanah dengan varibel lainnya, seperti penentuan Uang Muka, Standar kualitas bangunan dan lain-lain.


(1)  Spesifikasi teknis bangunan (terkait tentang pemakaian standar kualitas dari material  bangunan, proses pembangunan maupun finishing);

Menilai kualitas dan spesifikasi bahan bangunan sangat penting. Sebab, kualitas dari bahan material memiliki korelasi dengan umur dan daya tahan bangunan. Apalgi di tengah keadaan musim dan cuaca yang tak menentu, yang pasti daya tahan / kekuatan material bangunan sangat rentan dengan keadaan cuaca yang tak menentu.



Disamping itu, dengan mengetahui kualitas dari material bangunan, konsumen bisa membuat asumsi perhitungan yang mendekati dengan nilai bangunan tersebut. Yang perlu dicatat material bangunan memiliki tingkat standar kualitas berbeda-beda, sehingga  harganya pun bervariatif menurut standar kualitas dari produknya. Oleh sebab itu, konsumen hendaknya buka mata lebar-lebar,  sebab realita di  pasar material bangunan menunjukkan bahwa kualitas material banguan memiliki tingkat standar kualitas masing-masing. Dan istilah pasar biasa menyebutkan jenis standar KW1 (kualitas 1), KW2 (kualitas 2), hingga KW3. Standar KW1 merupakan standar kualitas pilihan nomer satu (bisa dikategorikan jenis  material / produk yang original / asli). Selanjutnya, KW2 (kualitas 2) – yang bisa dikategorikan sebagai produk reject pabrik, sementara itu untuk jenis produk KW 3 (kualitas 3) ini lebih dikategorikan  sebagai produk second hand.



Berikut ini ada contoh menarik tentang perbedaan kualitas dari jenis keramik; anda bisa teliti/amati dengan seksama kualitas keramik yang dipasangkan di lantai rumah baru milik anda. Lalu sejauhmana anda mampu mengamati dan menganalisa keramik yang terpasang tersebut. Dikarekan produk keramik sangat beraneka ragam mereknya, anda tak perlu segan-segan melihat pasar. Nah, dari pengalaman itulah anda bisa mengetahui standar kualitas dari barang yang dipakai.
 
(2)  Infrastruktur dan fasilitas umum yang ada di lingkungan internal perumahan;
Infrastruktur dan fasilitas umum (fasum) di bisnis property laksana bumbu dalam sebuah masakan. So, bisnis property akan makin menarik minat konsumen bila developer mampu mengoptimalkan infrastruktur dan fasilitas umum yang dimiliki. Sebab infrastruktur itu lebih mengarah pada upaya developer menyediakan sarana pendukung bagi konsumen dalam rangka memberikan kemudahan dan kenyamanan aktivitas dari konsumennya. Salah satu contoh infrastruktur internal yakni; ketersediaan sarana telekomunikasi (telepon) dan supply air bersih

Contoh jenis infrastruktur eksternal yang harus diperhatikan oleh developer yakni ; kondisi jalan di perumahan yang memadai. Bagi developer yang tidak ada kesigapan, jangan harap konsumen akan tertarik. Sementara itu, dari sisi ketersediaan fasilitas umum, konsumen harus memperhatikan jenis fasum apa saja yang disediakan oleh developer (mulai dari fasilitas olahraga, fasilitas rumah ibadah, hingga taman bermain untuk anak-anak).
  
(3)  Ketersediaan maupun keamanan dari proses kelistrikan.
Listrik kini sudah menjadi kebutuhan bagi masyarakat. Sebab, segala aktivitas kegiatan rumah tangga kerap memerlukan listrik. Mulai dari proses mencuci pakaian (melalui mesin cuci), menyeterika, hingga menghasilkan air bersih yang kerap menggunakan mesin air listrik. Singkat kata, selama 24 jam kerap kita butuh listrik.

Yang jadi persoalan, kadang masih ada juga developer yang kurang aware dengan konsumennya. Sebagai contoh, awak redaksi Manager di saat melakukan kunjungan ke beberapa proyek perumahan sempat  melihat langsung konsumen perumahan yang mengeluh kepada developer, dikarenakan mereka harus menunggu 2-3 bulan untuk dipasangkan instalasi listrik di rumahnya – sehingga sebagai konsekuensi konsumen harus rela berbagi listrik sementara dengan 2 hingga 3 tetangganya. Alhasil, setiap pagi, konsumen tersebut (yang kebetulan Ibu Rumah Tangga) sering terganggu akibat putus sambungnya listrik akibat kelebihan daya.

Bukan itu saja, kini sejak adanya KONSUIL (Komite Nasional Keselamatan Untuk Instalasi) faktor keamanan dari proses instalasi listrik di rumah tangga makin terus diperhatikan. Sebagai nilai positif-nya, hal ini sangat melindungi masyarakat perumahan yang mana secara langsung mereka juga konsumen listrik. Developer tak bisa hal ini dipandang sebelah mata, mereka hendaknya bukan sekedar membangun rumah saja, tapi turut memperhatikan faktor keamanan dari proses instalasi kelistrikan setiap rumah. Setidaknya developer lebih faham akan standar produk kelistrikan (mulai dari kabel hingga produk listrik lainnya.

Sebagai konsumen, ini merupakan pekerjaan rumah, dan diharapkan mau melakukan  re-check ulang sejauhmana effort dari developer dalam upayanya mengcover kebutuhan listrik konsumen perumahan. Salah satu tolok ukur kepedulian developer terhadap kebutuhan konsumennya akan listrik, yakni  ; alangkah lebih baik jika developer mau membuat gardu listrik tersendiri dalam rangka menanggulangi kebutuhan listrik dari perumahannya. Bagi konsumen yang faham akan standar produk peralatan listrik, mereka berhak pula memprotes jika produk kelistrikan yang digunakan oleh developer ternyata bukan yang berstandar.
  
(4)  Transaksi Pembelian, Administrasi dan Proses KPR
Harga jual dari rumah baru sangatlah bervariatif dan disesuaikan dengan cara pembayaran yang dipilih oleh konsumen. Berikut ini  ada beberapa cara pembelian yang dilakukan oleh konsumen perumahan yakni  :
a)    Pembelian/Pembayaran dengan cara Tunai Keras (Hard Cash);
Tunai keras adalah pembayaran dilakukan hanya satu kali dan langsung lunas.Ada beberapa konsekuensi jika hal ini direalisasi yaitu ; “harga beli rumah” bisa lebih murah dibandingkan jika melakukan pembelian dengan cara “Cash Bertahap” maupun dengan cara  “KPR (Kredit Pemilikan Rumah)”
b)    Pembelian dengan  Cash Bertahap (Soft Cash)
Untuk pola pembayaran ini, konsumen melakukan transaksi dengan pembayaran secara Cash Bertahap. Sebagai missal ; dari harga rumah Rp 190 juta, anda melakukan pembayaran melalui 5 kali angsur untuk pelunasannya. Transaksi dengan cara  bertahap  dampak positifnya adalah “harga beli rumah” jadi lebih murah dibandingkan dengan dilakukan dengan cara KPR
c)    Pembelian dengan Cara KPR (Kredit Pemilikan Rumah)
Pembelian melalui KPR, bisa dipastikan harga jual rumah jadi jauh lebih mahal dibandingkan dengan pembelian dengan cara cash keras maupun cash bertahap. Mengapa demikian; karena dengan proses KPR, konsumen dibantu oleh Pihak ketiga (dalam hal ini perbankan) yang memback up terlebih dulu pelunasan pembayaran ke developer.
Bukan itu saja, melalui KPR maka konsumen memiliki tenggat waktu pembayaran lebih panjang (sekitar 5 s/d 15 tahun). Jadi kondisi tersebut sangat wajar, jika harga beli rumah anda (konsumen) tinggi bila dilakukan melalui KPR.

Tahapan proses pembelian rumah baru  (dengan cara KPR);

1.     Konsumen terlebih dulu harus mengeluarkan Booking Fee, tujuannya adalah Pihak Developer akan menjamin untuk tidak menawarkan rumah yang telah anda pilih ke calon konsumen lainnya. Berikut ini hal-hal yang patut diperhatikan saat realisasi pembayaran Booking Fee;
·         Berapa besar booking fee yang disyaratkan oleh Developer?
Biasanya besaran Booking fee berkisar antara Rp 1 juta s/d Rp 5 juta – dan memiliki batas waktu/umur sekitar 1 s/d 2 minggu. Kemudian ditindaklanjuti dengan realisasi pembayaran DP (Down Payment)/Uang Muka. Mengenai besarnya pembayaran DP, itu disesuaikan menurut  kesepakatan bersama antara konsumen & developer.
·         Jika hingga batas waktu dari pemberian booking fee tidak diikuti dengan realisasi pembayaran DP oleh konsumen, konsekuensinya; uang booking fee yang telah calon konsumen bayarkan menjadi hangus/hilang. (Ini patut diperhatikan konsumen)

2.     Pembayaran Down Payment (DP) ; di tahap ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yakni :
·         Biasanya besaran DP yang harus dibayar adalah 30% dari “Harga Jual Rumah”. Misal; anda membeli rumah seharga Rp 190 juta maka DP yang harus dibayarkan adalah Rp 57 juta. Nah, bila ada developer yang memberlakukan DP di atas 30% berbeda dengan asumsi di atas, konsumen berhak mengajukan penawaran pengurangan DP. Tapi sebagai , bisa jadi ringannya DP justru berpengaruh dengan “plafon kredit pemilikan rumah” anda yang pasti akan meningkat.
·         Pastikan bahwa sebelum DP dibayarkan anda sudah memiliki identitas yang lengkap sebagai pra syarat dari pengajuan KPR (seperi keterangan Gambar 2) – disarankan, jangan sampai setelah anda membayar DP, tapi pengajuan KPR anda ditolak oleh Bank/Lembaga Pembiayaan yang memberikan kredit. Sebab hal ini akan merugikan, karena uang pembayaran DP tersebut jadi tertahan di developer (atau pahitnya lagi anda akan  mendapatkan potongan administrasi dari developer disaat mengajukan penarikan DP kembali)
·         Apakah DP tersebut dapat dibayarkan dengan cara bertahap?
Sering kita jumpai di iklan-iklan surat kabar maupun Majalah tentang Penjualan rumah yang mencantumkan statement “DP Bertahap”, misalnya ; “Dapatkan Rumah Segera ; DP bisa diangsur !”. Hendaknya pembayaran DP bertahap patut konsumen pelajari lagi, terutama mengenai perbandingan jumlah uang yang harus dibayar antara DP Bertahap  dengan Pembayaran DP Non Bertahap.
·         Setelah mengetahui besar kecilnya DP yang harus dibayarkan, anda bisa minta illustrasi sementara tentang estimasi besar cicilan Rumah yang harus dibayarkan jika anda mengambil KPR. (Bisa itu dengan cicilan 5 tahun maupun s/d 20 tahun). Sehingga anda bisa mengukur perkiraan cicilan rumah yang harus dibayar di kemudian hari.
·         Jika kiranya anda sudah melakukan pembayaran “DP Non Bertahap”, maka pastikan lagi kepada developer bagaimana kondisi bangunan rumah yang anda pilih? Apakah sudah 70% atau baru 20% bangunan tersebut jadi? Anda harus tanyakan lagi ke developer, kira-kira berapa lama rumah tersebut dapat dihuni jika akad kredit sudah selesai.

3.     Penyerahan identitas lengkap sebagai Prasyarat KPR;
·         Untuk penyerahan data prasyarat kredit anda harus mempersiapkan dengan seksama. Sebab, hal ini sangat berpengaruh terhadap performa anda di mata perbankan/lembaga pembiayaan yang memberikan kredit. Oleh sebab itu, validitas dan data anda hendaknya dipersiapkan dengan baik
·        Pihak developer tidak berwenang mengambil kesimpulan bahwa  pengajuan KPR anda akan disetujui oleh pihak perbankan. Sebab, developer hanya berwenang menyampaikan data tersebut kepada perbankan.
·       Pihak Developer harus mengingatkan ulang calon konsumennya agar tidak ada data yang tertinggal untuk prasyarat permohonan KPR.

4.     Developer mengajukan permohonan kredit pemilikan rumah dari konsumen kepada Pihak Perbankan;
·         Performa dan kondite keuangan dari pemohon KPR kerap menjadi penilaian tersendiri bagi perbankan. Yang pasti calon debitur tak akan bisa mengelak dengan menyembunyikan performa keuangan. Apalagi misalnya; anda melampirkan foto copy rekening tabungan bukan milik pribadi alias aspal / asli tapi palsu.
·         Khusus bagi pemohon KPR yang sudah terbiasa memanfaatkan kartu kredit (walaupun secara identitas tidak melampirkan keterangan atas pemilikan/penggunaan kartu kredit), anda tidak bisa menghindar, sebab sudah pasti performa anda akan terbaca jelas. Lalu timbul pertanyaan; Apakah anda termasuk debitur kartu kredit yang kooperatif atau bukan?  (terutama bagi mereka yang sering mengalami tunggakan pembayaran kartu kredit yang nilainya besar).
·         Pemohon KPR akan dipanggil oleh Pihak Perbankan (kreditur) untuk dilakukan Tanya Jawab tentang latar belakang maupun keterbukaan anda terhadap Kreditur. (Disarankan pemohon KPR menjelaskan dengan sebenar-benarnya).
·         Selain penggunaan kartu kredit, data finansial anda pun akan terecord jika terbukti anda masih memiliki tunggakan pinjaman dengan pihak bank lainnya. Ini merupakan upaya dari pihak perbankan untuk tidak sembarangan menyetujui permohonan Kredit Pemilikan Rumah.

5.     Proses Final tentang hasil survey dan assessment terhadap calon pengaju KPR;
Dalam proses ini, Pihak perbankan setelah mengumpulkan data berlanjut ke proses survey dan assessment dari kapasitas pemohon KPR (debitur). Pihak perbankan (kreditur) akan memanggil calon debitur untuk dilakukan Tanya – Jawab seputar alasan dan kesanggupan calon debitur  untuk menyepakati hal-hal yang telah diatur di dalam pengajuan KPR.

Bukan itu saja, bila terjadi ketidaksamaan data yang disampaikan dengan hasil assessment di lapangan maka disarankan agar debitur lebih bersifat terbuka (open mind) perihal kapasitas mereka. Tujuannya adalah; debitur tidak direpotkan akibat kesalahan yang dibuat-buat mereka sendiri. Kemudian, setelah adanya persetujuan dari atas pengajuan KPR ini, maka Pihak Bank (Kreditur) akan menkonfirmasikan balik ke developer.

6.     Proses AKAD KREDIT ;
      Proses ini bisa terealisasi jika sudah ada lampu hijau tentang pengajuan KPR dari Bank (Kreditur) yang mana dalam prosesnya dilakukan di depan notaris, Pihak perbankan dan developer. Sementara itu bagi konsumen sendiri, jangan kaget bila disodori beberapa lembar perjanjian yang harus ditandatangani. (Lihat Gambar)




(1)   Hubungan antara Developer dengan Konsumen ;
             Developer dan konsumen dari sisi bisnis termasuk jenis hubungan (relationship) B to C (Business To Customer), dalam konteks ini, segala keluhan atas ketidakpuasan konsumen mulai dari mutu bangunan hingga wanprestasi-nya developer. Oleh sebab itu, konsumen harus lebih ‘melek’ melihat kompetensi maupun referensi dari developer. Apakah ia pemain baru di bisnis proper ini, atau sebaliknya (misalnya telah menangani lebih dari satu bisnis properti).
            Salah satu hal yang harus dimiliki oleh developer adalah ; mereka harus menjunjung tinggi komitmen kepada konsumennya.  Dan, ini harus digarisbawahi lagi agar kiranya hubungan tersebut dapat berjalan dengan baik – setidaknya konsumen yang telah mengeluarkan uang besar tidak merasa dirugikan.
(2)   Hubungan antara Developer dengan Arsitek ;
             Hubungan antara Developer dan Arsitek bersifat B To B (Business To Business), sebab dalam konteks ini Developer menggunakan jasa Arsitek untuk mendisain model rumah yang akan dibangun. Sementara itu, bila dicermati apa yang terjadi di lapangan, ternyata penggunaan jasa arsitek ini dapat dilakukan dengan cara inhouse (jasa arsitek dari internal pengembang) dan jasa arsitek yang berasal dari outsourcing / tenaga luar.
      Tenaga  arsitek dari oursourcing / tenaga luar dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yakni ; outsourcing perorangan dan outsourcing berbentuk badan usaha. Salah satu tujuan dari developer memanfaatkan jasa arsitek adalah ; (1) developer ingin memaksimalkan  disain dari rumah yang akan ditawarkan. (2) developer dapat mendiskusikan tentang cara meminimalisasi cost (biaya pembuatan bangunan) tanpa perlu mengurangi standar disain bangunan yang akan dibuat.
(3)   Hubungan Antara Arsitek Dan Kontraktor ;
     Hubungan mereka lebih cenderung bersifat teknis pekerjaan. Dalam hal ini, Arsitek dan Kontraktor hanya berperan ;  Bagaimana memaksimalkan apa yang sudah menjadi permintaan dari developer ? Salah satu masalah teknis pekerjaan yang mereka bicarakan contohnya ; standar ukuran dari ruangan, bentuk bangunan yang akan dibuat, dan kendala-kendala yang dihadapi oleh Kontraktor saat harus menyesuaikan dengan apa yang sudah dibuat oleh Arsitek.
(4)   Hubungan Antara Developer Dan Kontraktor ;
       Hubungan keduanya boleh dibilang lebih bersifat B to B (Business To Business), karena Developer berkewajiban  membayar jasa dari kontraktor. Dan kontraktor pun harus mengimbangi dengan kemampuan menyelesaikan apa yang sudah ditargetkan  oleh developer. Misalnya ; berapa banyak rumah yang dapat diselesaikan dalam jangka waktu 6 bulan ? Dan, bagaimana kualitas bangunan yang telah dibuat. Seperti, pada saat rumah siap dihuni oleh konsumennya, maka selaku kontraktor hendaknya bersifat pro aktif untuk me-ricek ulang apakah bangunan tersebut masalah, baik itu bersifat kebocoran sampai dengan bangunan yang kurang rapi.
           Developer dalam konteks ini harus pandai memilih kontraktor yang tepat. Dalam pengertian luas, kontraktor yang ditunjuk hendaknya berpengalaman.  Sebab, ketidakrapian bangunan bisa berakibat pada kekecewaan konsumen terhadap developer, dan itu perlu dicatat. Kontraktor sama halnya dengan Arsitek, ada 2 kategori, yakni kontraktor perorangan sampai dengan kontraktor berbentuk badan usaha.
       Dari sisi pemberian jasa yang dilakukan oleh developer, biasanya disesuaikan dengan kesepakatan antara developer dengan kontraktor. Berikut ini ada beberapa kesepakatan yang biasanya terjadi antara Developer Dan Konsumen (dalam hal pembayaran jasa), yakni ;
a.       Developer membuat kesepakatan pembayaran hanya ongkos jasa kerja kontraktor (tanpa disertakan biaya material), untuk jenis ongkos jasa ini bisa bersifat hitungan harian ataupun borongan. Bila bersepakat dengan cara pembayaran harian, biasanya developer akan menekan kontraktor ;  kira-kira butuh berapa hari untuk membangun satu rumah ? (makin lama hari maka berimplikasi ke tingginya ongkos jasa yang harus dibayarkan). Lain halnya jika pembayaran dilakukan dengan cara borongan. Yang pasti developer akan menawar biaya borongan tersebut semurah mungkin, tapi implementasi di lapangan biasanya kontraktor berupaya mempercepat waktu pengerjaannya.
b.      Developer dan Kontraktor bersepakat mengenai pembayaran jasa berikut (including) biaya material bangunan. Untuk kesepakatan jenis ini, Developer biasanya lebih bersifat tak ikut campur dalam hal pembelian material bangunan, akan tetapi developer berhak meminta spesifikasi material sesuai yang diinginkannya. Sebab itu, Kontraktor harus pandai mencari kualitas material yang diminta oleh developer. Meski berbeda merek (dari apa yang diinginkan developer), tapi setidaknya compatible secara kualitas.

(5)   Hubungan Developer - Kontraktor dengan Supplier ;
    Hubungan Supplier dengan Developer maupun Kontraktor, sejauh ini lebih bersifat B To B (Business To Business). Dan sifat hubungan mereka harus ditinjau dulu menurut  kesepakatan antara Kontraktor dengan Developer (lihat keterangan no.4, poin a) – yang mana dijelaskan bahwa jika Developer hanya membayar ongkos jasa kerja saja kepada kontraktor – maka hubungan antara Developer dengan Supplier sangat kuat. Sebab, Supplier selaku penyedia material bangunan langsung berinteraksi dengan Developer. Nah, jika Supplier telah memiliki kesepakatan harga material bangunan dengan Developer, maka Supplier akan menyupplai kebutuhan dari Developer. (Untuk hubungan ini Kontraktor hanya menerima barang dari developer saja)
         Kemudian sesuai dengan penjelasan no.4 poin b – dijelaskan bahwa Developer bersepakat dengan Kontraktor untuk pembayaran jasa termasuk material bangunan. Berarti, dalam konteks ini Supplier akan berkomunikasi langsung dengan para kontraktor – baik itu dalam hal negosiasi harga maupun pemilihan material sesuai keinginan developer.

(6)   Proses Pembangunan Rumah
          Pembangunan rumah lebih dominan menjadi tanggung jawab dari kontraktor, sebab mereka yang membangun dan menyelesaikan rumah hingga laik huni. Namun, bagi konsumen yang sering / pernah dikecewakan atas kualitas bangunan yang kurang memadai biasanya langsung protes kepada Developer.  Dan, hal ini sangat wajar, sebab selama ini konsumen memiliki kesepakatan / deal dengan developer. Adapun bila ada kontraktor yang memungut biaya ke konsumen atas perbaikan rumah yang kurang memuaskan akibat kesalahan kontraktor maka konsumen tidak berhak memberinya (dengan catatan rumah yang baru dihuni tersebut masih dalam masa garansi dari developer).


   JIKA ANDA KONSUMEN RUMAH BARU, ANDA HARUS TAHU ; BAGAIMANA HUBUNGAN ANTARA DEVELOPER DENGAN KONSUMEN ? SEJAUH MANA  HUBUNGAN ANTARA DEVELOPER DENGAN KONTRAKTOR ?  DAN, BAGAIMANA HUBUNGAN KONTRAKTOR DENGAN KONSUMEN ? – DENGAN DEMIKIAN DIHARAPKAN ; ANDA LEBIH  JELAS MANA HAK DAN KEWAJIBAN MASING-MASING ! 

Thursday, February 21, 2013

Mengintip Terjun Di Bisnis Media Cetak



PAHIT MANIS BISNIS MEDIA CETAK


    Menjalani bisnis media cetak ternyata tak segampang apa yang dipikirkan banyak orang. Apalagi  gugur dan berseminya media cetak sudah hal yang biasa di negeri ini. Tapi kondisi tersebut tak pernah membuat kapok para pelakunya. Ini bisa dilihat dengan  hadirnya beraneka ragam Koran, Tabloid, maupun Majalah yang ada di pasar komersial. Belum lagi dengan makin menjamurnya media cetak yang disebarluaskan secara gratis alias free. Apa sih pahit - manisnya menjalani bisnis media cetak itu ? Apa betul kalau berbisnis media cetak membutuhkan modal yang besar plus memakan waktu tiga sampai empat tahun untuk mencapai break event point ?

  Di awal keran kebebasan pers dibuka, memang mengundang banyak pebisnis maupun kalangan investor untuk mencicipi lezatnya bisnis ini. Implikasinya, puluhan hingga ratusan merek media cetak pun hadir di pasar – baik itu dalam bentuk Koran, Tabloid, maupun Majalah. Jadwal terbitnya pun beraneka ragam ; ada yang harian, mingguan, dwimingguan, sampai dengan bulanan. Yang tak kalah menarik lagi, saat itu banyak pula penerbit yang berlomba-lomba menggelar launching produknya dengan besar-besaran di berbagai hotel bintang lima.
   Tapi sayang, apa yang digembar-gemborkan di awal bisnis tersebut tak diikuti dengan tumbuh kembangnya bisnis yang dijalani. Kemudian, setelah bisnis tersebut telah bergulir satu hingga dua tahun lamanya – para pelaku bisnis media cetak pun mulai mengerutkan dahi akibat berat dan pahitnya menjalani bisnis media cetak. Alhasil tak bisa dipungkiri lagi, bila tiba-tiba ada Koran, Tabloid, maupun Majalah yang menghilang tanpa pamit. 
   Dinamika ini merupakan kenyataan yang membuat pebisnis media cetak harus lebih waspada dalam menjalani bisnisnya. Konsistensi dan inovasi merupakan sebuah langkah yang harus dinomersatukan. Nah, di edisi kali ini – Realitas Indonesia (RI) ingin mengupas lebih dalam mengenai pahit manisnya bisnis media cetak. Sajian tulisan ini bukan bermaksud untuk menggurui – tapi hanya memberikan sedikit brain storming perihal suka dukanya menjalani bisnis media cetak.


5 P  Dalam Bisnis Media Cetak
      Ada yang bilang bisnis media cetak nyawanya ada pada kemampuan meraih pendapatan iklan. Benar tidaknya pendapat itu anda sendiri yang bisa pikirkan. Nah, sebelum kita mengetahui benar tidaknya pendapat tersebut – maka ada baiknya kita fahami lebih dulu pengertian dari media cetak itu sendiri.

     Media cetak dalam kalimat sederhana bisa dikatakan sebagai wadah yang memberikan informasi kepada khalayak masyarakat dalam bentuk tulisan. Bisa berbentuk Koran, Tabloid, maupun Majalah. Untuk jenis Koran yang terbit harian ; dalam sajiannya mereka lebih mengedepankan pada sebuah berita yang bersifat aktual yang terjadi setiap hari – baik itu  informasi yang bersifat Nasional maupun Internasional. Karena itu, dalam pengerjaannya jenis media massa Koran sangat membutuhkan sumber daya manusia yang banyak dan mobile alias cekatan.
    Bila dicermati dari sisi alur bisnis media cetak ; dalam konsep pemasarannya tak beda jauh dengan produk non cetakan, yang mana tetap beracuan pada 5 P, yakni Product, Price, Promotion, Placement, and, People. Dari sisi Product ; sebuah media cetak harus mampu didukung sumber daya manusia yang betul-betul berkualitas. Dalam konteks ini, produk media cetak yang ditawarkan ke pasar harus bisa menyajikan tulisan yang enak dibaca, memiliki design lay out  yang menarik, dan yang paling utama yaitu mengandung asas manfaat bagi khalayak pembacanya. Oleh sebab itu kualitas wartawan yang dimiliki pun bukan sekedar orang yang memiliki kepandaian bertanya, tapi lebih pada kemampuan menguasai materi dari apa yang akan ditanyakan ke narasumber. Sebab, semuanya memiliki korelasi terhadap apa yang akan ditulis / diinformasikan kepada pembaca.
      Sejauh ini yang patut disayangkan, kadang masih ada wartawan yang kurang memahami apa yang dijelaskan narasumbernya. Padahal kondisi tersebut bisa menghadirkan gap antara apa yang dimaksudkan narasumber dengan hasil tulisan yang disajikan ke pembaca. Sebab itu, setiap media cetak biasanya memiliki redaktur pelaksana dan pemimpin redaksi yang senantiasa memberikan pengarahan. Disamping itu, yang lebih parah lagi, kadang kaidah penulisan  Bahasa Indonesia yang baik dan benar pun masih jauh dari harapan.
     Tanpa disadari, kadang agar tulisan yang tersaji enak dibaca oleh masyarakat – pedoman mengenai cara menulis yang baik dan benar menurut kaidah Bahasa Indonesia pun masih sering diloncati. Sebab ada istilah yang menyebutkan “Bahasa adalah Kunci Komunikasi” sehingga tak jarang kalau dalam penulisan, ada media cetak yang berupaya menghasilkan tulisan yang lebih bersifat komunikatif. Ini tak lain dan bukan dalam rangka menyajikan bacaan / tulisan menjadi enak dibaca.
     Bagaimana kaitannya antara kualitas tulisan dengan design lay out dari sebuah media cetak ? – seperti misalnya untuk jenis media majalah maupun tabloid ? – Untuk sebuah media cetak seperti majalah maupun Tabloid ;  design lay out dan tulisan sebenarnya sama-sama memiliki nilai yang sangat penting agar bisa diterima dengan baik di pasar. Apalagi untuk jenis majalah yang bisa digunakan sebagai dokumentasi serta dapat disimpan dalam waktu lama. Tapi, dari berbagai narasumber (selaku pemerhati dan pembaca media cetak) yang memiliki latar belakang berbeda satu dengan lainnya, ternyata mereka memiliki berbagai argumentasi / alasan yang beraneka ragam dalam menilai tulisan maupun design lay out dari sebuah media cetak.

    Sebagai misal pendapat dari orang yang kurang memahami tentang design lay out – rupanya bagi mereka, sebuah media cetak harus menyajikan sebuah informasi yang benar-benar memiliki manfaat bagi pembacanya. Apakah manfaat tersebut  hanya sekedar pengetahuan umum atau dapat juga berbentuk informasi yang berguna sebagai panduan dalam menjalani rutinitas yang dijalani. Setidaknya, apa yang dibaca bisa memberikan masukan ide dan pemahaman baru.Perihal design lay out-nya, bagi mereka ; asalkan gambar dan peletakannya proposional serta memiliki korelasi dengan isi tulisan, hal tersebut masihlah  dianggap wajar.

    Beda halnya bagi narasumber yang memahami tentang design lay out cetakan. Disamping memperhatikan isi tulisan, mereka sangat concern terhadap kualitas design lay out dari sebuah majalah maupun tabloid. Ada yang bilang, “penampilan merupakan kesan pertama” tutur salah seorang narasumber. Oleh sebab itu, bila ada penerbit yang menganggap informasi yang dibuat telah ditulis dengan baik dan enak dibaca, sebetulnya belumlah lengkap jika tanpa didukung kualitas design lay out yang menarik. Apalagi tak bisa dipungkiri kalau kita sebagai pembaca kadang memiliki titik jenuh dan membutuhkan visualisasi baru yang dapat me-refresh pikiran sekaligus memberikan bukti informasi dalam bentuk gambar / foto. Toh, informasi itu bukan sekedar tulisan tapi bisa berbentuk gambar.
         Nah, sekarang pilihan ada di tangan anda, jika anda menjadi pengusaha media cetak? Apakah lebih memilih media cetak yang menyajikan tulisan yang berbobot dan enak dibaca semata ? atau Anda lebih mengedepankan visual dari  design lay outnya saja ? Atau kedua-duanya yang harus saling mendukung ? Toh, anda yang mempunyai keputusan ; berapa banyak uang anda dibelanjakan untuk membeli media cetak tertentu. Sementara itu, bagi  kalangan penerbitnya sendiri - apakah  mereka mau lebih bersifat kreatif untuk terus memperbaiki produknya sehingga pembaca makin merasa puas.
      Dilihat dari sisi Price (Harga), dalam hal ini penentuannya tak bisa sembarangan. Sebab, setelah harga pokok produksi diketahui, maka si penerbit harus menentukan berapa persen margin keuntungan yang akan diambil. Sebab, memasarkan media cetak bukan sekedar menjual kertas – tapi juga menghargai hasil kerja dari informasi yang telah disajikan oleh para awak redaksi. Apalagi menghimpun informasi itu membutuhkan waktu dan perjuangan yang tak ringan.
     Bagi media cetak komersial, sebelum menentukan harga, biasanya mereka harus terlebih dahulu mengetahui berapa persen diskon yang akan diberikan ke para agen penjualan. Dan, untuk lebih jelas lagi lihat gambar Proses Distribusi Penjualan Koran, Majalah, dan Tabloid. Satu hal yang perlu diperhatikan oleh media cetak baru dalam memasarkan produknya adalah ; mereka harus berhadapan dengan banyak media cetak yang telah dilempar ke pasar. Terkadang untuk masuk ke toko buku maupun agen penjual, si penerbit harus rela memberikan diskon besar sebesar 40%-50%.
        Menurut berbagai sumber yang Realitas Indonesia (RI) jumpai, baik dari kalangan praktisi maupun pengamat – ternyata sangat diakui bahwa menjalani bisnis media cetak jenis Koran Harian merupakan bisnis yang paling kompleks dan memiliki kesulitan tinggi. Mulai dari proses pencarian berita, produksi, pendistribusian, sampai dengan pemasaran. Dan, boleh dibilang, orang yang benar-benar bermodal besarlah yang berani terjun membuat Koran (apalagi di jaman sekarang ini).Sebab membangun pasar dan pembaca tak semudah yang dibayangkan.

Beberapa hal yang diperlukan menilai kualitas produk Majalah, Koran, dan Tabloid

1. Isi informasi yang disajikan, harus memiliki beberapa kriteria;

  • Mengandung asas manfaat.
  • Menyajikan informasi yang detail dan komprehensif
  • Memiliki akurasi data yang reliable.
  • Menghadirkan berbagai narasumber yang memiliki relevansi dengan materi yang ditulis.
  • Memiliki prinsip keseimbangan dalam pemberitaan.
  • Informasi yang diberikan bukan sekadar berita, tapi dapat juga dalam bentuk informasi yang bisa digunakan sebagai panduan bagi rutinitas pembacanya.
2. Memiliki desain lay out yang menarik, sederhana, dan eye catching.
3. Menyajikan informasi yang terstruktur dan mendalam untuk kupasan informasinya.
4. Menghadirkan tulisan yang enak dibaca dan mudah dipahami oleh kalangan pembacanya.
5. Menyajikan aneka rubrik ringan yang membuat pembaca lebih enjoy.





Divisi Sirkulasi ; divisi ini memiliki peranan meningkatkan sebaran produk di tempat-tempat yang tepat. Maksudnya, mereka yang bekerja di divisi ini harus mampu memilih tempat-tempat yang strategis dan produk tersebut mudah dilihat oleh orang banyak. Selain itu, kawasan yang dijadikan target penyebaran tersebut harus memiliki  potential buyers yang menjadi target dari produk yang akan dijual. Para pekerja di divisi ini, bukan sekedar hanya mengandalkan agen-agen penjualan media cetak, tapi juga harus pro aktif mencari pasar baru dengan berbagai penawaran yang menarik dan penuh kreatifitas. (Lihat jalur pendistribusian Media Cetak)

Tolok ukur dari kesuksesan divisi ini :

-   mampu melakukan penyebaran yang baik dan di tempat yang strategis

- mampu memilah dan memilih agen penjualan – terutama agen penjualan yang menghadirkan pola pembayaran maupun retur yang baik dan kooperatif

-  mampu meyakinkan para agen maupun toko buku bahwa produk yang mereka bawa sangat berkualitas

Divisi Promosi : fungsi dari divisi ini adalah bagaimana meng-create program promosi menjadi sarana untuk memperkuat brand image dari media itu sendiri. Kesuksesan maupun  tolok ukur dari keberhasilan Divisi ini terletak pada kemampuan membangun citra produk dan lebih bersifat intangible asset.Disamping itu, mereka juga harus membangun agar brand dari produk yang dijual mudah dikenal oleh khalayak masyarakat. Yang lebih penting lagi, dalam melakukan promosi, penerbit harus memilih langkah-langkah yang efektif dan efisien, tanpa terlalu menghambur-hamburkan biaya promosi.


Keuntungan dan Risiko Bagi Penerbit yang memiliki 1 s/d 3 buah Media Cetak ;

1. Penerbit bisa melakukan sindikasi peliputan diantara masing-masing media cetak. Misalkan ; Penerbit A memiliki media cetak X, Y, dan Z. Ketiganya memiliki jadwal penerbitan yang berbeda-beda. Maka, si penerbit bisa memberdayakan sumber daya manusia yang dipekerjakan untuk salah satu media cetak lainnya. (Lihat gambar)




 Risiko dari adanya sindikasi pemuatan berita oleh masing-masing awak redaksi ;

 - Bila satu orang mengerjakan dua media cetak, maka akan timbul ketidak fokusan dalam penyajian informasi

 -  Akan terbentur kepentingan atas visi dan misi yang dimiliki masing-masing media cetak. Sebagai missal ; visi dan misi dari media cetak harian tentu berbeda dengan media cetak mingguan, dan visi misi media cetak mingguan pun pasti berbeda dengan media bulanan.

-  Akan terjadi ketidakjelasan dalam pendelegasian wewenang di masing-masing media cetak



2. Penerbit bisa melakukan sindikasi pemasangan iklan diantara masing-masing media cetak. Misalkan ; Pemasang iklan di media cetak harian maka mereka akan mendapatkan pemasangan iklan di Media Cetak Mingguan maupun Bulanan. (Lihat gambar)





§  Media cetak harian memiliki tarif iklan lebih mahal dibandingkan dengan media cetak mingguan maupun bulanan. Sebab itu ini bisa dijadikan sebagai sebuah sinergi yang mana tentunya menguntungkan  pemasang iklan di media cetak harian sebab mereka akan mendapatkan bonus pemasangan iklan di media cetak mingguan maupun bulanan, seperti pada gambar di atas
§  Bagi pemasang iklan di media cetak mingguan pun demikian, mereka bisa mendapatkan bonus pemuatan iklan di media cetak bulanan. (ini dikarenakan tarif iklannya di media cetak mingguan lebih mahal dibanding media cetak bulanan.
§  Sebaliknya pemasang iklan di media cetak bulanan – mereka tidak akan mendapatkan bonus pemasangan di media mingguan maupun harian, dikarenakan tarif iklan di media bulanan jauh lebih murah.
     Semua bentuk sindikasi ini, hanya sebuah analisis yang bisa digunakan oleh penerbit yang memang telah memiliki banyak media, dengan catatan Penerbit harus berhitung kembali dengan teliti komposisi beban biaya dari masing-masing media cetak tersebut. Pada kenyataannya sudah ada beberapa penerbit yang menerapkan demikian.

Risiko dari adanya bonus bagi pemasang iklan seperti diatas adalah;
-   Akan adanya kanibalisasi – maksudnya salah satu media cetak yang termurah hanya dijadikan sebagai pancingan
-  Tidak semua pemasang iklan mau mengambil system bonus tersebut, sebab mereka harus mengetahui apakah segmen target pasar dari media cetak yang dijadikan sebagai bonus adalah berbeda dengan media utama yang dipilihnya. Jika memang segmen target pemasangnya sama maka hal ini sangatlah sia-sia.
-  Tidak akan menghadirkan kreatifitas bagi para tenaga penjual iklan (para Account Executive) untuk menghasilkan terobosan – yang bukan semata-mata memberikan bonus pada pemasang iklan.